Ada sebuah pertanyaan yang mengusik pikiranku beberapa hari belakangan ini, Untuk apa Tuhan menciptakan rasa sakit? Bukankah hidup i...

Terkadang Rasa Sakit Itu Perlu

rasa sakit mengajarkan kita dan anak banyak hal - hukuman  pukulan atau tamparan kadang perlu diberikan untuk pendidikan

Ada sebuah pertanyaan yang mengusik pikiranku beberapa hari belakangan ini, Untuk apa Tuhan menciptakan rasa sakit? Bukankah hidup ini lebih enak jika tidak ada yang harus kesakitan karena dicubit?

Rasa sakit sebenarnya tidak lebih dari persepsi yang dibuat otak sebagai respon terhadap jenis sentuhan dengan kekuatan tertentu. Sederhananya bisa kukatakan bahwa rasa sakit itu tidak ada. Rasa itu hanya diada-adakan saja oleh otak untuk suatu tujuan tertentu. Tapi untuk tujuan seperti apa?

Pertanyaan itulah yang baru saja terjawab olehku pagi ini.

Tadi pagi, aku pergi ke warung untuk membeli sarapan (lontong yang kuceritakan tadi). Sambil menunggu lontong pesananku dibuat aku memperhatikan beberapa anak kecil yang bermain di warung. Ada sekitar empat orang anak. Dua diantara mereka anak pemilik warung, namanya Musira (kira-kira 6 tahun) dan Rendi (kira-kira 3 tahun), yang lainnya aku tidak tahu namanya tapi tak apa mereka hanya figuran.
Sambil membuatkan lontong pesananku si mamak berpesan pada anaknya, “Musira, jaga adekmu itu, nanti dia kena gigit semut api.” Musira pun mengiyakan. Tak lama setelahnya sesuatu pun terjadi.
Tiba-tiba Si Rendi terjatuh. Dia hampir menangis karenanya. Aku mengira karena kena gigit semut api tapi ternyata bukan. Itu ulah teman Musira, dia mendorongnya. Musira yang merasa bertanggung jawab menjaga adiknya pun dengan marah menghakimi temannya itu.
“Kau dorong adekku sampai jatuh ya?” tanya Musira dengan marah.
Temannya itu ternyata belum cukup besar untuk mengetahui bagaimana berbohong seperti koruptor atau menyangkal seperti orang yang salah. Dengan tenangnya dia malah menjawab, “Iya, kudorong dia.” Sepertinya dia belum mengerti kalau yang dibuatnya itu salah.
Kemudian Musira menampar temannya itu.

Aku yakin kalian tidak asing dengan cerita-cerita seperti yang baru saja kuceritakan di atas. Sederhana sekali kan? Seorang anak kecil yang mendorong anak kecil lainnya dan ia ditampar. Namun begitu, dari cerita itulah tulisan ini dibuat. Waktu itu lontong pesananku belum juga selesai dibuat, jadi aku berpikir soal teman si Musira tadi, sebut saja namanya Diana. 

Diana pastilah dia tak tahu kalau ia sedang berbuat salah. Itu tampak dari ekspresi wajahnya saat Musira bertanya padanya. Sepertinya anak itu belum mengerti apa itu konsep benar dan salah. Wait! Jangan bilang kalau kalian yang membaca tulisan ini juga belum mengetahuinya. Kalau benar begitu pura-puralah tahu sementara ini.

Kalau benar si Diana tadi tidak mengerti apa itu benar dan salah, maka tamparan Musira tadi harusnya merupakan pelajaran pertama yang ia terima. Rasa pedas dan sakitnya tamparan itu pasti membuatnya berpikir. “Wow rasanya sakit sekali.”

Berikutnya Diana akan berpikir, “Kenapa aku ditampar sedemikian kerasnya? Itu membuatku merasa sakit dan menderita. Pasti ada penjelasan rasional dibalik semua penderitaan ini.”

Pikirannya itu akan mengarahkannya untuk berpikir lagi, “Memangnya apa yang telah kulakukan sehingga Musira teman baikku merasa pantas untuk memberiku sedikit penderitaan ini? Apa karena aku mendorong adiknya hingga terjatuh.”

That is the point! Monolog itu fiktif, aku bukan seorang cenayang yang bisa mengetahui apa yang orang lain pikirkan tapi kira-kira seperti itulah proses yang terjadi dalam otaknya secara psikologis. Monolog itu terjadi begitu cepatnya sehingga ia pun tidak menyadarinya. Satu-satunya hal yang menjadi jelas baginya adalah, sekarang dia menyadari apa yang dilakukannya itu salah.

Dalam hati aku memberi tepuk tangan untuk Musira yang telah mengajarkan pelajaran yang begitu penting. Walaupun aku tak yakin apa ia menyadari pelajaran apa yang telah ia berikan pada kita semua.

Kini pertanyaanku terjawab sudah, ternyata:

Tuhan menciptakan rasa sakit untuk mengajarkan kepada seorang anak tentang mana yang benar dan salah.



PENGAJARAN BENAR DAN SALAH
Aku baru ingat, dalam ilmu pedagogi (keguruan) ada yang disebut Reward and Punishment. Ini adalah pelajaran paling mendasar yang digunakan dimana-mana. Untuk yang baik kita beri hadiah, untuk yang buruk kita beri hukuman. Konsep pengajaran ini begitu sederhana sehingga metode ini bisa digunakan untuk mengajari hewan (yang tidak punya akal) dan anak-anak (yang akalnya belum berkembang)

Metode pengajaran ini pun digunakan untuk manusia seluruhnya. Hanya saja Tuhan memberinya nama yang agak berbeda. Pahala dan Dosa. Pahal bernilai positif sementara Dosa bernilai negatif. Akumulasi dari jumlah pahala dan dosa ini nantinya bisa ditukar (Redeem) dengan Taman Surga atau Jurang Neraka sebagai tempat kembali.

Kalau kupikir-pikir apa yang diciptakan Tuhan ini ada benarnya juga. Bagaimana lagi cara mengajari anak tentang benar dan salah jika bukan dengan penderitaan dari rasa sakit. Anak itu belum cukup dewasa untuk mengerti artinya tatapan mata kemarahan atau kata-kata sindiran. Tidak ada cara lain selain memanfaatkan potensi reseptor paccini (sensor rasa sakit) yang ditanamkan Tuhan ke bawah kulit anak itu.


PERTAHANAN TUBUH
Aku yakin tidak hanya itu hikmah dari penciptaan sensasi rasa sakit dalam kepala kita. Maka aku mencari data lainnya dan menemukan sesuatu yang menarik. Di suatu tempat (aku lupa dimana) ada seorang anak yang terlahir tanpa reseptor rasa sakit. Wow! Kebayang gak, kalau kita berantem sama dia, dia tidak akan merasa kesakitan.

Tapi nyatanya keadaan itu tidak semenyenangkan apa yang kalian pikirkan. Dalam perkembangannya, anak itu tumbuh tanpa mengerti konsep rasa sakit. Akibatnya, di sekolah ia jadi sering menyakiti teman-temannya. Ia tak tahu apa yang ia perbuat ternyata menyakitkan. Ia mengayukan sendoknya begitu keras, membenturkan tubuhnya kepada teman-temannya dan mencengkeram lengan teman-temannya begitu kuat. Semua itu karena ia tak bisa mengira-ngira bagaimana rasanya. 

Coba bayangkan bagaimana jika anak itu ada disini sambil memukul-mukulkan martil ke kepalanya, kemudian menoleh kepadamu dan berkata, “Ayo coba kak. Gak apa-apa kok!”

Sampai disini aku jadi mengerti bahwa rasa sakit tidak hanya diciptakan untuk mengajari benar dan salah tapi juga untuk melindungi diri kita sendiri. Sensor rasa sakit memberitahu kita bahwa jika bagian tubuh ini terus-menerus kena tusukan, pukulan atau tekanan maka lama kelamaan organ tubuh bagian dalam juga bisa rusak dibuatnya. 

Itu artinya, jika orang tuanya tidak berhati-hati, anak yang tidak punya sensor rasa sakit tadi bisa-bisa mati konyol hanya karena DIA TIDAK SADAR telah melukai jantungnya, melumat otaknya atau merobek pembuluh darah dalam tulangnya. (bagaimana bisa sadar, tidak ada yang peringatan dari tubuhnya)

Satu poin penting kuambil disini adalah bahwa:

Tubuh merasa perlu untuk menyiksa diri kita sendiri dengan sensasi
rasa sakit, karena jika tidak ada peringatan seperti itu kalian 

tidak akan hati-hati menjaga organ dalam tubuh kalian.

TUBUH KITA TEGA MENYAKITI KITA
Setelah mengetahui betapa teganya tubuh kita memberi kita sensasi rasa sakit demi mencegah keburukan yang lebih besar, aku jadi tersadar. 

Mengapa kita menjadi begitu kejam dengan berdiam diri saat melihat teman kita menyakiti dirinya sendiri? Ya, setiap hari teman kita menyakiti dirinya sendiri tapi mereka tak sadar telah melakukannya. Apa kamu tega membiarkan mereka terus begitu hingga ia mati?


Mungkin kalian belum sadar apa yang kubicarakan. Aku sedang membicarakan teman-teman kita yang hobi bermaksiat. Aku sedang membicarakan teman-teman kita yang telah gelap hatinya untuk menyadari bahwa apa yang ia perbuat adalah sebuah kesalahan. Aku sedang membicarakan mereka yang suka meninggalkan shalat, suka membicarakan keburukan-keburukan orang, dan suka peluk-pelukan dengan pacarnya. Bukankah mereka itu sejatinya sedang menyakiti diri (Jiwa dan Batin) mereka sendiri?

Tidakkah kau merasa perlu untuk menjadi alarm (pengingat) bagi mereka? Karena pembiaranmu itu sama dengan membiarkan anak kecil yang tak punya rasa sakit tadi membenturkan kepalanya ke dinding hingga otaknya pecah. Bukankah akal temanmu itu akan mati jika kau terus membiarkannya menyakiti jiwanya sendiri (sementara ia tidak mengetahui).

Aku tahu ia akan malu jika kau mengingatkannya, aku tidak enak rasanya menegur teman sendiri. Tapi kenapa kalian tidak tega? Sementara otak kalian sendiri saja TEGA memberi kalian rasa sakit jika ia merasa itu perlu. Masak kalian tidak tega? 

Kalian harus menegurnya.

Mungkin kamu akan berkata, “Tapi Bib! Aku sendiri juga tidak sesuci itu. Kalau nanti dia nanya balik gimana?” Ya, bagus! Dengan begitu kalian akan saling menasehati dalam kebaikan dan kesabaran. 

Aku rasa sudah jelas ya.

Kalau begitu aku ucapkan terima kasih kepada kalian yang sudah membaca catatan ini. Jangan lupa untuk diamalkan karena ilmu tidak ada apa-apanya kecuali ia disebar dan diamalkan. Mulai sekarang jadilah teman yang tega! Karena Terkadang Rasa Sakit Itu Perlu.

Sebagai penutup aku akan katakan,

Kalian harus tega! Yang kejam itu justru adalah membiarkan
seorang anak yang tak mengerti rasa sakit membenturkan 

kepalanya ke dinding hingga otaknya hancur.
Kalian harus tega! Yang kejam itu justru adalah 
membiarkan seseorang yang lupa terus masuk ke jurang 
dosa yang lebih dalam hingga nafsu menguasai akal sehatnya.