Apakah Tuhan itu benar-benar ada? Beberapa tahun terakhir, aku banyak berdialog dengan orang-orang yang mengaku tidak bertuhan (ateis). Keba...

Bicara tentang Tuhan

Apakah Tuhan itu benar-benar ada?
Apakah Tuhan itu benar-benar ada?

Beberapa tahun terakhir, aku banyak berdialog dengan orang-orang yang mengaku tidak bertuhan (ateis). Kebanyakan dari luar negeri. Dari dialog itu, aku tahu bahwa alasan-alasan berhentinya mereka percaya adanya Tuhan sebenarnya masih bisa ditantang. Sebagian besar mereka berhenti percaya karena kesalahpahaman mereka mengenai definisi tuhan. Hal ini sebenarnya tidak mengejutkan, mengingat agama mayoritas di negeri mereka, memberikan atribut yang tidak-tidak pada tuhan. Sehingga, yang mereka tolak keberadaannya sebenarnya memang tidak pernah kita anggap tuhan sejak awal.

Tapi orang yang takut salah jika bicara tuhan dan orang yang memang gak pernah punya suasana yang mendukung untuk bicara agama sangat mungkin untuk ikut tersesat mendengar argumen-argumen mereka. Itu sebabnya aku merasa perlu untuk bicara tentang hal paling mendasar dalam sistem keyakinan kita ini. Entah apa kalian menyukainya…

APAKAH TUHAN ITU ADA?

Apakah alam semesta ini benar-benar membutuhkan suatu sosok tuhan untuk terjadi? Tidakkah hukum-hukum fisika cukup untuk memicu terjadinya alam semesta? Begitulah tanya mereka.

Jika tuhan yang ada dalam benak mereka persis seperti yang digambarkan agama-agama mayoritas di negeri mereka (berbentuk mirip manusia/hewan, dapat diukur besar/dimensinya, tertangkap kamera, membutuhkan tempat berpijak walau sekadar ruang hampa udara, serta ikut hanyut dalam pusaran waktu seperti kita) maka tak heran jawabannya adalah TIDAK. Alam semesta tidak butuh mereka untuk muncul pertama kalinya. Jika mereka baru muncul setelah tempat dan waktu ini siap, tentulah mereka bukan pencipta tempat dan waktu. Dan tentulah gelar Tuan/Lord (yang kemudian dalam Bahasa Indonesia diperkhusus dengan kata: Tuhan) tidak cocok disematkan pada mereka.

Oleh karena itu baiklah jika kita definisikan lebih dulu,

APA ITU TUHAN?

Langsung saja, definisi yang kugunakan untuk kata Tuhan ialah: 
Tuhan adalah apapun/siapapun yang pertama kali memulai semua ini (alam ini, kehidupan, kita).

Jika ini definisi yang digunakan, maka pertanyaan para ateis itu (apakah tuhan itu ada?) langsung menjadi kedaluarsa. There must be the first of everything. Pasti ada yang pertama untuk segalanya. Kehadiran kita ini tentulah didahului oleh kehadiran orang tua kita. Orang tua kita pasti didahului oleh orangtuanya lagi. Dan seluruh manusia ini pasti didahului oleh nenek moyangnya. Si nenek moyang itu pasti didahului oleh bumi tempat ia berpijak. Bumi didahului oleh proses kejadiannya dan proses kejadiannya pasti didahului oleh hukum fisika yang mengatur kejadian itu. (kalian yang tertarik mungkin akan suka membaca tentang bilangan avogadro, pi, phi, konstanta gravitasi, konstanta Planck)

Jika ujung terjauh ke belakang yang bisa dicapai seorang anak manusia dengan pikirannya hanyalah (katakanlah) Big Bang, maka dengan definisi tadi dia akan katakan Tuhan itu adalah Big Bang. Jika dia agak sedikit lebih pintar dan berpikir bahwa “ketiadaan tidak mungkin secara tiba-tiba meledak menjadi realitas/keberadaan jika tidak ada yang mengusik ketenangannya” maka dia mungkin akan berkata bahwa hukum-hukum fisika yang mendahului Big Bang itulah Tuhan.

Karena semua ini pasti ada awalnya, tentulah ia tidak akan terpikir pertanyaan sekonyol “apakah Tuhan itu ada?”

Hanya saja, tentulah kita tidak mau mengulangi kesalahan orang-orang terbelakang dengan terburu-buru menetapkan siapapun yang berada di ujung pengetahuannya sebagai Tuhan dan akhirnya menjadi bahan tertawaan manusia pada masa berikutnya (persis sebagaimana kita menertawakan para penyembah leluhur dan pohon-pohon).

Andai manusia berhasil menemukan semua hukum dan konstanta yang memicu terjadinya Big Bang serta mengenali pula hal yang mempengaruhi hukum dan konstanta itu, aku sendiri tetap tidak tertarik untuk menyebut hal itu sebagai Tuhan. Mengingat bahwa hal itu tentu didahului oleh sesuatu yang lainnya (walau apa persisnya belum diketahui).

Mengingat keterbatasan data dan daya pikir manusia, cukup bagi bahwa semua ini pasti diawali sesuatu dan aku memutuskan untuk menamainya Tuhan.

APAKAH TUHAN ITU MEMANG HARUS DISEMBAH?

Jika pengembaraan pikiran kita baru sampai pada kesimpulan tadi, belum lah kita sampai pada kesimpulan bahwa Tuhan itu harus disembah, apalagi disembah tanpa penyekutuan. Tapi kita harus segera meluruskan hal ini.

Manusia adalah makhluk yang sejak lahir tertarik pada kekuatan yang lebih besar. Ketika sesuatu di luar kehendak seorang manusia terjadi, (katakanlah: badai, gempa bumi, kematian anak istri), manusia menyadari bahwa ia bukanlah penentu segalanya. Thus, ia meyakini ada suatu kekuatan yang lebih kuat dari dirinya.

Orang-orang terdahulu (yang kusebut belum dapat petunjuk) menggunakan imajinasinya untuk mengira-ngira apa, siapa, dan seperti apa kekuatan yang lebih kuat dari mereka itu. Sebagian mereka sampai pada kesimpulan bahwa: kematian itulah sang kekuatan yang dimaksud. Sebagian lagi mengira sosok itu adalah: sebentuk sapi, kucing dan gajah kosmik. Sedangkan yang lain: menganggap suatu makhluk mirip manusia yang terbuat dari cahaya sebagai kekuatan yang bertanggung jawab atas hal-hal di luar kendalinya itu.

Ketika sosok-sosok itu diharap-harapkan belas kasihannya dan/atau ditakuti kemurkaannya, sehingga dalam upaya mendapatkan kebaikan dan menghindarkan diri dari keburukan darinya itu seseorang melakukan hal-hal yang kiranya dapat ‘menyenangkan’ sosok-sosok itu, aku sebutlah bahwa sosok-sosok itu telah dipertuhan (dijadikan tuhan atau sesembahan) oleh si manusia tadi.

Perhatikan bahwa sekali ini, aku tidak menulisnya Tuhan, melainkan tuhan. Itu karena sosok yang disembah (diharap-harap kebaikannya, dihindari keburukannya, dan demi itu dilakukan hal-hal/ritual-ritual untuk menyenangkannya) membutuhkan suatu istilah sendiri. Maka kudefinisikan:

tuhan adalah sesuatu yang dijadikan sesembahan yakni sesuatu yang diharap-harap kebaikannya dan/atau dihindari keburukannya, dan demi itu dilakukan sesuatu untuk menyenangkannya.

Terserah kalian jika kalian lebih suka membuat definisi sendiri tapi inilah definisi yang kugunakan dalam tulisanku ketika aku menyebutkan kata “tuhan” dan definisi tadilah yang kugunakan ketika kusebutkan kata “Tuhan”.

Banyak pemilik toko di Medan yang mengangkat-angkat dupa di pagi hari di depan tokonya. Dari film Upin & Ipin kupahami bahwa mereka takut akan gangguan sosok singa ghaib dan mereka melakukan itu agar sosok singa ghaib dan kawan-kawannya itu menjadi lebih ‘jinak’ terhadap mereka. Maka kita sebutlah bahwa mereka telah melakukan penyembahan terhadap singa ghaib dan singa ghaib itu telah dijadikan sesembahan/tuhan oleh mereka.

Maka, kembali ke pertanyaan di awal bagian ini: Apakah tuhan memang harus disembah? Jawabannya: tuhan itu memang sesuatu yang disembah. Jika tidak disembah, sesuatu tidak berstatus sebagai tuhan.

SIAPA YANG PALING LAYAK DIJADIKAN TUHAN?

Kalian boleh saja berpendapat bahwa jawabanku ini bias. Jika memang begitu, carilah jawaban kalian sendiri tapi inilah jawabanku. Jika memang ada sesuatu yang lebih layak dijadikan tuhan, tentulah ia harus sesuatu yang paling kuat.

Coba pikir, misalkan ada seseorang yang memutuskan untuk menyembah suatu pohon karena ia mengira bahwa pohon itu bisa memberi berbagai macam pemberian yang ia butuhkan dan pohon itu juga bisa membuatnya sedih jika pohon itu mau. Katakanlah orang itu telah menjadi hamba yang saleh dari pohon itu, ia menyiraminya setiap hari, ia memberinya sesajen setiap hari dan si pohon pun telah berniat baik untuk mengasihi hambanya yang saleh itu. Tapi ketika pohon itu hendak memberikan buahnya, eh tahu-tahu datang badai yang tidak hanya membuat buahnya hancur berantakan tapi juga mencabut pohon hingga ke akarnya. Tidakkah kamu pikir orang itu telah memilih tuhan yang salah?

Dalam cerita tadi, badai itu lebih layak ditakuti kemurkaannya daripada si pohon betapapun baiknya ia. Kenapa? Karena ia lebih kuasa. Ia sanggup menahan apa yang hendak diberi si pohon. Jika ada sesosok makhluk yang berkuasa atas segala badai di dunia ini, katakanlah namanya dewa badai, maka si dewa badai ini lebih layak ditakuti ketimbang badai manapun di dunia ini. Betapapun kesalnya seekor badai pada kita, selama kita berteman dengan dewa badai itu, aman! Badai manapun tidak akan sanggup membahayakan/memudharatkan kita.

Singkatnya, sesuatu yang lebih kuasa memberi manfaat dan mudharat lebih layak jadi tuhan.

Maka seorang yang sejak awal memang memiliki kecenderungan untuk menghebat-hebatkan sesuatu dalam hatinya, sebaiknya mulai menelisik apa/siapa yang sebenarnya berada di puncak rantai makanan, eh maksudku rantai kekuasaan. (Hey, jangan berpaling! Kalian yang dalam hati suka menghebat-hebatkan kendaraan bermotor buatan jepang juga termasuk!)

Pengembaraan pikiran itu sebenarnya tidak akan lama jika kalian telah mulai tapi karena aku tidak mungkin menunggu kalian menyelesaikannya, aku akan meneruskan kalimatku dengan kesimpulan: Jika ada sesuatu yang paling layak dijadikan tuhan maka tentu ia adalah Tuhan.

Tuhan yang telah menciptakan, memiliki dan memelihara semua yang ada di tiap semesta, meskipun kita tidak memiliki gambaran apapun tentang seperti apa rupanya, ia tentulah yang paling berkuasa atas semua. Thus, dialah yang paling layak dijadikan tuhan/sesembahan. Jika kita berteman dengan Dia yang sanggup mengadakan sesuatu dari ketiadaan, tentulah tiada sesiapa yang dapat membuat kita merasa terancam.

Karena sampai di sini kita belum tahu siapa nama Tuhan yang dimaksud itu, cukuplah kita mendeklarasikan: Tiada sesuatu pun yang layak dijadikan tuhan selain Tuhan yang menciptakan, memiliki dan memelihara setiap semesta. ATAU Tiada tuhan (bagiku) selain Dia yang menciptakan, memiliki dan memelihara setiap semesta.

Demikianlah layaknya Dia itu menjadi satu-satunya tuhan tanpa sekutu. Maka masihkah kita hendak menghambakan diri juga pada si lemah dan si jahat, seperti bos kita di kantor, istri kita di rumah, uang kita di ATM, dan nafsu di dalam diri kita?


Pertanyaan berikutnya: Bagaimana kita mengenali Dia dan karakternya? Apakah Dia itu sosok kejam yang suka menghukum sehingga kita harus takut padanya jika tak ingin Dia membahayakan / memudharatkan kita? Ataukah Dia sosok yang gila hormat sehingga kita harus menunjukkan penghormatan yang cukup agar Dia memberikan kunci-kunci brankasnya pada kita? Apa yang diharapkannya dari kita (agar ia pun mau memenuhi harapan kita)?

Semua itu akan kita bahas di tulisan berikutnya. Adakah yang menunggu?

Baca bagian berikutnya di: Bicara tentang Tuhan (2)