“Mana yang lebih berat bagi seekor gunung, memberi manusia berjuta-juta metrik ton emas atau memberi mereka berjuta-juta metrik ton lumpur p...

Bukan Kejadian Baik atau Buruk tapi Kejadian saja

tidak ada kejadian baik atau buruk sumber lincoln institute of land policy

“Mana yang lebih berat bagi seekor gunung, memberi manusia berjuta-juta metrik ton emas atau memberi mereka berjuta-juta metrik ton lumpur panas?” Jika gunung itu dapat menjawab, aku menduga ia akan menjawab, “tidak ada dari keduanya yang lebih berat dari yang lain.”

Gunung tidak berniat melakukan suatu kebaikan ketika ia mengeluarkan emasnya dan tidak bermaksud untuk mencelakakan kita ketika ia mengeluarkan lumpur panasnya. Keduanya sama saja baginya. Ia hanya melakukan yang harus ia lakukan. Kitalah yang kemudian memberi label baik dan buruk pada perbuatannya itu.

Bonus mainan dalam kemasan suatu makanan ringan ekstrudat bersifat netral hingga anak yang yang membuka kemasannya menetapkan bahwa ia lebih senang jika hadiahnya berwarna kuning. Setelah ia telah menetapkan begitu, bonus mainan itu bisa menjadi bonus yang menyenangkan, bisa juga menjadi bonus yang tidak menyenangkan.

Berubahnya cara kita memaknai suatu kejadian adalah akibat dari ingin dan tidak inginnya kita akan sesuatu.

Oleh sebab itu, menyenangkan atau tidaknya suatu pengalaman bisa sangat berbeda bagi individu berbeda. Seseorang yang sangat menginginkan kekayaan akan menganggap datangnya harta sebagai kejadian yang menyenangkan dan layak disyukuri. Sedangkan orang yang bercita-cita untuk hidup, mati dan dibangkitkan dalam keadaan miskin (seperti Abdurrahman bin Auf) menganggap datangnya harta sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan dan layak disabari.

Yang ingin kukatakan adalah bahwa kebaikan dan keburukan sebenarnya bukanlah sesuatu yang sifatnya mutlak di hadapan alam di hadapan Dia yang berada di balik alam ini.

Hal ini selaras dengan pernyataan agama:
  • “Kebaikan yang kita lakukan sedikit pun tidak menguntungkan Dia dan keburukan yang kita lakukan sedikit pun tidak merugikan Dia.”
  • “Ketaatan kita sedikit pun tidak menambah besar kerajaan-Nya dan pembangkangan yang kita lakukan sedikit pun tidak mengurangi besar kekuasaan-Nya.”
Dan sudut pandang inilah yang harusnya diambil seseorang yang mengaku menyerahkan hidup dan matinya pada Al-Haqq (realitas tertinggi) ketika ia memandang sesuatu. Tidak layak baginya untuk menganggap suatu hal baik atau buruk hanya karena hal itu secara pribadi tidak menyenangkannya. (Dalam perkara ini coba pikir hal-hal seperti: perang, hipnotis massal, pelet atau konsumsi daging)

Dari sudut pandang realitas paling objektif, baik/buruknya kegiatan konsumsi daging bukan hal yang melekat mutlak pada kegiatan konsumsi daging itu. Kegiatan itu baru akan baik ketika pemilik realitas menyatakan ia sebagai perbuatan baik dan kegiatan itu akan menjadi buruk ketika pemilik realitas memutuskan untuk menganggapnya buruk.

Dalam Islam, shalat tidaklah mutlak merupakan suatu kebaikan. Suatu perbuatan baru dinyatakan oleh-Nya sebagai kebaikan ketika dalam perbuatan itu merupakan bagian dari ketaatan pada kehendak/perintah-Nya. Jika seorang muslim yang dilarang shalat (misalnya ketika seseorang sedang mabuk atau haidh) mengerjakan shalat, hal itu malah akan dihitung sebagai kemaksiatan baginya.

Jadi sebenarnya sama saja bagi seorang yang benar-benar menghambakan diri kepada Allah apakah ia ditakdirkan termasuk orang yang mendapatkan apa yang dicita-citakannya atau termasuk mereka yang terhalang dari cita-cita mereka.

Hanya saja, tidak banyak dari kita yang bisa sedemikian tak memihak. Sebagian besar dari kita punya pilihan, punya keinginan! Kita ingin bahagia dan tidak ingin sengsara. Nah, keinginan itulah yang pada akhirnya memaksa kita menetapi satu jalan, bukan yang satunya. Sehingga …

Tidak layak bagi kita untuk bertanya “mengapa aku harus begini dan begitu?”

Bagaimana mungkin kita berharap untuk mendapatkan dunia yang teratur (sesuai keinginan kita) jika kita sendiri tidak mau diatur? Kuharap sekarang semuanya jelas. Tidak ada yang memaksamu berbuat baik. Kamu sendirilah yang secara tidak langsung memaksa dirimu dengan semua pilihan dan harapanmu itu.

Sebelum kututup biarkan aku merangkum: Tidak ada yang namanya kejadian baik atau buruk. Yang ada hanya kejadian saja. Baru ketika kita memilih untuk menyukai kutub yang satu ketimbang yang lainlah ada yang namanya kejadian baik dan kejadian buruk. Pilihan itu kemudian akan diikuti dengan konsekuensi berupa aturan-aturan yang pada gilirannya tidak hanya harus diterapkan kepada orang lain tapi juga pada diri kita sendiri. 

Kuharap aku menjelaskannya dengan cukup baik.