Suatu ketika ayahmu bercerita bahwa dulu dia senantiasa akur dengan saudara-saudaranya, tidak seperti kamu dan saudara-saudaramu yang setiap...

Kamu Tahu atau Kamu Percaya?

kami tidak mengira kami tahu squidward

Suatu ketika ayahmu bercerita bahwa dulu dia senantiasa akur dengan saudara-saudaranya, tidak seperti kamu dan saudara-saudaramu yang setiap hari bertengkar. Begitu mengetahuinya, kamu pun belajar untuk senantiasa akur dengan saudaramu. Tapi esoknya pamanmu datang dan berkata bahwa kamu tidak tahu apa-apa tentang ayahmu. Kamu pun percaya pada pamanmu dan akhirnya menyadari bahwa kemarin kamu bukannya tahu (bahwa ayahmu akur dengan saudaranya) tapi kamu hanya percaya (bahwa mereka akur) dan sekarang kamu tahu bahwa yang kamu percayai itu ternyata salah.

Tapi apakah tidak terlalu cepat untuk menyatakan bahwa saat ini kamu tahu kebenarannya? Bukankah mungkin saja kali ini pun kamu hanya mengira kamu tahu kebenarannya, kamu tidak benar-benar mengetahui keadaan sebenarnya? Bagaimana membedakan antara “kamu beneran tahu” dengan “kamu hanya mengira kamu tahu”?

BAGAIMANA MANA KAMU MENGETAHUI BAHWA PENGETAHUANMU BENAR?

How do you know that you know? You don’t! Kamu tidak akan pernah tahu. Kamu tidak akan pernah bisa membedakan apakah yang saat ini kamu ketahui benar-benar sesuai dengan kenyataan atau hanya satu hal yang kamu percayai benar.

Jika kamu menganggap bumi itu bulat, ketahuilah bahwa kamu tidak akan pernah tahu apakah pengetahuanmu itu benar atau pengetahuanmu itu sebenarnya bukan pengetahuan tapi hanya perkiraan atau kepercayaanmu saja. Setidaknya begitulah keadaannya sampai kamu mendapatkan bukti meyakinkan (entah itu berasal dari seseorang yang kamu percaya, sekumpulan premis yang menurutmu teruji, atau bola matamu sendiri). Begitu pula jika kamu menganggap bumi itu datar.

Hanya yang benar-benar mengetahui yang dapat menilai apakah pengetahuan orang lain benar atau salah. Dulu manusia PERCAYA bahwa bumi adalah pusat alam semesta. Ketika Galileo meneliti kebenarannya dan akhirnya tahu lebih banyak dari orang lain, ia menarik kesimpulan bahwa pengetahuan orang lain salah sedangkan pengetahuannya sendiri benar. Thus, menurutnya orang lain tak layak mengatakan bahwa mereka TAHU pusat alam semesta. Bagi Galileo, mereka itu hanya mengira/percaya bahwa mereka tahu, dialah yang benar-benar TAHU bahwa pusat alam semesta adalah matahari.

Tapi Galileo tidak tahu bahwa dirinya pun akhirnya ditertawakan karena mengira bahwa dirinya benar-benar tahu. Kita yang hari ini tahu bahwa matahari pun ternyata beredar pada orbitnya tentu memandang Galileo tidak ada bedanya dengan orang yang dipandangnya tidak tahu apa-apa itu. Bagi kita, ia hanyalah satu diantara orang-orang yang PERCAYA bahwa mereka tahu pusat alam semesta, padahal mereka sama sekali tidak tahu kebenarannya.

Nah, apa bedanya kita dengan dia? Siapa yang dapat menjamin bahwa kita tidak seperti Galileo dan mereka (yang mempercayai hal yang tak sesuai dengan kenyataan)? Siapa yang dapat menjamin bahwa pengetahuan kita ini 100% benar, bukan sekadar hal yang saat ini kita percayai benar? Bagaimana jika ternyata sudah ada makhluk tingkat tinggi (katakanlah dari gelombang elektromagnetik) yang menertawakan kita atas klaim tahu kita tentang alam semesta ini?

KITA TIDAK AKAN PERNAH TAHU

Dengan pengetahuan kita yang terbatas, kita tidak akan pernah tahu bedanya sehingga istilah TAHU dan PERCAYA sebenarnya sama saja bagi kita ini. Kalimat “aku tahu kebenarannya” sebenarnya sama maknanya dengan kalimat “kukira aku tahu kebenarannya” bahkan kalimat kedua jauh lebih akurat (dalam artian lebih besar kemungkinan benarnya).

Untuk itu, aku mendorong orang-orang untuk mulai mengganti kalimat-kalimat semacam “aku tahu bahwa …” dengan kalimat “aku percaya bahwa …”

sok tahu kamu tapi aku memang tahu

Dengan penukaran kata TAHU menjadi PERCAYA ini, jumlah orang sok tahu akan berkurang drastis. Karena tentu tidak ada orang yang sok percaya. Orang yang menggunakan kata percaya, dengan tegas menyatakan sikapnya tanpa menutup adanya peluang bahwa di luar sana ada kebenaran yang lebih tinggi.

Tidak seperti kata TAHU yang mendorong orang untuk berdebat dan memaksakan keyakinan, kata PERCAYA mendukung suasana diskusi yang saling menghargai.

TENTU SAJA TETAP ADA PIHAK YANG LEBIH TAHU

Sebagai seorang muslim, aku percaya bahwa pihak yang paling tahu tentang realitas adalah Sang Kebenaran itu sendiri. Ini sejalan dengan firman Allah dalam Al-Qur’an:

وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)

Oleh sebab itu, jika ada pihak yang tetap boleh menggunakan kata TAHU maka ia adalah pihak yang paling tahu tentang kebenaran itu sendiri, atau menurut seorang yang beriman pihak itu adalah Allah.

Kamu yang tidak mempercayai Allah pasti percaya pada satu atau banyak hal juga. Ada yang percaya pada sains, ada yang percaya pada media massa, ada yang percaya pada satelit, ada juga yang hanya percaya pada bola matanya sendiri.

Setiap orang bebas menentukan sumber informasi mana yang paling ia percaya. Dan semua orang selain dia bebas menilai apakah sumber informasi yang dianggapnya terpercaya itu benar-benar yang paling tahu tentang kebenaran atau tidak. Itu sebabnya manusia tidak akan berhenti berselisih atas perkara ini. Sesuai dengan firman Allah:

إِلَى ٱللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ

Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukanNya kepadamu apa yang kamu perselisihkan itu.” (QS. Al-Maidah: 48)

Setelah semua sampai pada kesimpulan di atas kurasa kini aku mendapat sedikit gambaran, mengapa dalam agama iman diberi posisi yang sedemikian tinggi. Di tulisan berikutnya, kita akan bahas beberapa tingkat keyakinan. Ditunggu ya! Sebelum itu, apa pendapatmu tentang pengetahuan dan kepercayaan ini?

UPDATE:
24 Agustus 2023
Aku menemukan video youtube bagus untuk kamu yang tertarik memandang ini dari sudut pandang sains sekuler. Setelah nonton video di bawah, tulisan ini akan lebih terasa maknanya.