Ketika suatu bencana alam terjadi, orang-orang kulihat terbagi menjadi dua golongan. Yang satu berkata “semua ini adalah teguran Allah” lalu...

Hanya Tangan Kanan

membongkar pengkhianatan si tangan kanan dengan analogi ustadz dan speaker

Ketika suatu bencana alam terjadi, orang-orang kulihat terbagi menjadi dua golongan. Yang satu berkata “semua ini adalah teguran Allah” lalu sibuk membersihkan diri dari dosa-dosa. Yang satu lagi berkata “semua ini adalah akibat kurangnya data yang kita miliki untuk memprediksi aktivitas seismik” lalu sibuk menyiapkan alat yang lebih canggih untuk mengantisipasi potensi bencana berikutnya.

Perbedaan cara kedua golongan itu menyikapi bencana alam berasal dari perbedaan kepercayaan dalam hati mereka. Yang satu percaya bahwa tidak ada sesuatu pun yang bergerak kecuali Allah yang menggerakkannya dan bahwa Allah tidak suka wakil-wakil-Nya di muka bumi menyalahgunakan amanah yang diberi. Yang satu lagi percaya bahwa pergerakan setiap partikel tunduk pada hukum fisika deterministik dan bahwa manusia dapat mengetahui apa-apa yang akan terjadi jika punya data yang cukup untuk menemukan polanya.

Sebagai muslim yang dididik dengan ilmu pengetahuan alam sejak duduk di bangku sekolah, banyak dari kita mengaku percaya kepada Allah sebagaimana orang-orang di kelompok pertama dan meyakini pula apa yang diyakini orang-orang di kelompok kedua sebagai kebenaran. Padahal Allah berfirman dalam sebuah hadits qudsi:

أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِيْ مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ، فَأَمَّا مَنْ قَالَ: مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللهِ وَرَحْمَتِهِ، فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِيْ كَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ، وَأَمَّا مَنْ قَالَ: مُطِرْنَا بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا، فَذَلِكَ كَافِرٌ بِي مُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ.

Di antara hamba-Ku ada yang menjadi beriman kepada-Ku dan ada pula yang kafir. Adapun orang yang mengatakan: ‘Kami telah diberi hujan karena keutamaan dan rahmat Allah,’ maka itulah orang yang beriman kepada-Ku dan kafir ter-hadap bintang-bintang. Sedang orang yang mengatakan: ‘Kami diberi hujan dengan bintang ini dan itu,’ maka itulah orang yang kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang-bintang.’”

Itu berarti bahwa orang beriman tidak menetapkan dalam hatinya bahwa api itu membakar dan air itu menyegarkan. Keduanya hanya diyakini seorang beriman sebagai sebab. Api hanyalah sebab (yakni sesuatu yang hadirnya dibersamakan Allah dengan terbakarnya sesuatu) tapi Allah sendirilah yang sebenarnya membakar. Air hanyalah sebab (yakni sesuatu yang hadirnya dibersamakan Allah dengan basahnya sesuatu atau munculnya rasa segar) tapi Allah sendirilah yang sebenarnya menjadikan segar dan basahnya sesuatu. Kamu dapat meneruskan ini sendiri ke berbagai hal, termasuk bencana.

Jika seseorang memandang Allah-lah yang mengambil mobilnya (bukannya pencuri), tentu ia akan lebih sibuk introspeksi ketimbang lapor polisi. Jika seseorang memandang Allah-lah yang menjadikannya pejabat (bukannya pemodal), tentulah ia lebih sibuk membuat kebijakan yang sesuai kehendak Allah ketimbang sesuai kehendak pemodal. Jika seseorang memandang Allah-lah yang membuat harga-harga naik (bukannya para elite global), tentulah ia lebih sibuk berjuang mengalahkan kekafiran dalam dirinya sendiri ketimbang berjuang mengalahkan hegemoni ekonomi orang-orang kafir.

Adanya muslim yang lapor polisi dalam keadaan lupa kepada Allah merupakan bukti. Adanya pejabat muslim yang merasa berhutang kepada pemodal tanpa merasa berhutang kepada Allah merupakan bukti. Dan adanya milisi muslim yang mati-matian berjuang membangkitkan ekonomi umat seolah bukan Allah yang menempatkan elite global di atas sana merupakan bukti bahwa bahwa muslim belum menetapkan Allah sebagai pelaku tunggal segala sesuatu.

KONYOLNYA ORANG-ORANG YANG BERSANDAR PADA SEBAB

Supaya kamu tahu betapa konyolnya orang yang menyadarkan sesuatu kepada sebab, perhatikanlah ilustrasi berikut.

Di sebuah ruang sidang, seseorang berkata pada si Polan, “tanganmu dingin sekali! Kamu gugup ya?” Si Polan menjawab, “tidak. Tanganku dingin karena pembuluh darahku menyempit. Itu saja.” Temannya itu hanya memutar bola matanya sambil bergumam, “kamu pikir kenapa pembuluh darahmu menyempit?”

Konyol sekali bukan? Tapi apa bedanya si Polan dengan kebanyakan kita?

Jika si Polan menyadarkan dinginnya tangan pada mekanisme biologis, banyak dari kita menyandarkan kesembuhan pada mekanisme kimiawi obat dan menyandarkan bencana alam pada mekanisme fisika. Tanpa meneruskan sebab terdekat itu kepada sebab berikutnya, kita sama konyolnya dengan si Polan.

TIDAK SESULIT ITU

Pernahkah kamu terlambat datang ke suatu tabligh akbar sehingga kamu tidak dapat melihat si ustad dari tempat kamu duduk? Meskipun ustadnya (katakanlah Ustad Abdul Somad) tidak terlihat, kamu dapat mendengar ceramahnya dengan jelas dari sebuah speaker besar yang kebetulan ada di dekatmu. Dengan khidmat kamu mendengar setiap kata yang disampaikan lalu pulang dengan niat menjadi pribadi yang lebih baik.

Di rumah, keluarga dan teman-temanmu menyadari perubahanmu lalu bertanya “bagaimana kamu bisa berubah?” Kamu pun menjawab, “Suatu hari aku mendengar Ustad Abdul Somad bilang begini dan begitu.”

Kamu tidak berkata “suatu ketika sebuah speaker memberiku sebuah nasehat yang sangat bagus” meskipun di depan matamu tampak bahwa suara yang kamu dengar berasal dari speaker. Kamu menyandarkan semua kalimat nasehat itu kepada Ustad Abdul Somad karena yakin sebuah speaker hanya meneruskan apa yang hendak disampaikan orang yang memegang mikrofon.

Kamu juga menyebutkan masjid-masjid itu dibangun oleh Soeharto walaupun kamu tahu pasti Soeharto tidak pernah mengaduk semen dan menyusun batu batanya. Lalu mengapa kamu berpikir menetapkan Allah sebagai penggerak segala sesuatu itu sulit?

Jika semua yang kusebutkan di atas belum cukup, coba jawab: ketika kamu memerintahkan tangan kananmu mengambil sejumput uang dan memasukkan ke kotak sumbangan, pernahkah sekali saja seseorang berterima kasih pada tangan kananmu dan mencatat sumbangan itu atas namanya sendiri? Tidak pernah kan?

Lalu mengapa sebagai tangan kanan yang digunakan Tuhan untuk menunjukkan kebaikan-Nya kamu malah mengaku-aku semua itu adalah kebaikanmu sendiri?

Maka sekali lagi kutegaskan tidak satu perbuatan pun dilakukan kecuali Allah adalah pelakunya. Tidak ada sesuatu pun yang bergerak atau bahkan diam sekali pun kecuali Allah yang menggerakan atau membuatnya diam. Laa haula wa laa quwwata illa billahil aliyyil azhiim.

Sekarang, masihkah kamu mengira yang berbicara padamu sekarang ini sehari-harinya mengajar matematika dan menulis cerita?