Aku tidak ingat sejak kapan aku menjadi sedemikian tertarik pada makna di balik apa yang tampak. Tapi kukira sejak itulah perjalananku mengenali jati diriku sendiri dimulai.
Mengenali diri sendiri tidak sesederhana kedengarannya. Itu bukan sekadar mengenali tempat tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan serta kesukaanmu dan ketidaksukaanmu. Jika tidak percaya, coba jawab siapa kamu sebenarnya? … Aku tidak bertanya namamu, jenismu, atau pekerjaanmu. Aku bertanya siapa kamu.
Jika itu belum cukup, coba tunjuk dirimu! … Yang kamu tunjuk itu bukan dirimu! Itu bajumu, badanmu, kepalamu. Bukan kamu! Jika kamu bingung, yang bingung itu pikiranmu, bukan kamu. Jika kamu kesal, yang kesal itu perasaanmu, bukan kamu! Jadi yang mana yang sebenarnya kamu?
Kegagalanmu menjawab dua pertanyaan di atas kuharap menyadarkanmu bahwa mengenali diri sendiri bukan sesederhana yang kamu kira sebelumnya.
Ada beberapa peta yang telah kukumpulkan dari berbagai belahan dunia untuk memandu perjalanan seseorang yang hendak menyingkap selubung yang sebelumnya menutup kesadaran seseorang dari apa yang benar-benar nyata. Peta-peta itu menyebutkan bahwa untuk mencapai pencerahan sempurna manusia harus melalui tujuh stasiun tingkatan/tahapan. Mereka memberi nama berbeda bagi tiap stasiun itu sesuai dengan latar belakang masing-masing tapi kita akan lihat dari kesamaan gambaran yang mereka berikan bahwa rute yang mereka maksud sama.
PETA AVATAR THE LEGEND OF AANG
Kalaupun kamu tidak tertarik untuk keluar dari kepalsuan dunia ini, kamu dapat menjalani hidup yang lebih baik hanya dengan mengamalkan apa yang disampaikan Guru Pathik ketika Aang belajar mengendalikan Avatar State.
Guru Pathik menjelaskan bahwa untuk menguasai akses Avatar State tanpa batas kamu harus membuka tujuh aliran energi (chakra) dalam dirimu dan membiarkan energinya mengalir tanpa hambatan. Tujuh Chakra itu adalah:
Bumi: berkaitan dengan pertahanan diri, terhalang oleh rasa takut. Karena itu hadapilah rasa takutmu.
Air: berkaitan dengan kesenangan, terhalang oleh rasa bersalah. Karena itu maafkan orang lain lalu maafkanlah dirimu sendiri.
Api: berkaitan dengan willpower, terhalang oleh rasa malu. Karena itu terimalah dengan lapang dada kekurangan dirimu sendiri.
Udara: berkaitan dengan cinta, terhalang oleh kesedihan. Karena itu sadarilah bahwa cinta tidak pernah pergi tetapi selalu datang dalam bentuk lain.
Suara: berkaitan dengan kebenaran, terhalang oleh kebohongan. Karena itu jujurlah.
Cahaya: berkaitan dengan pandangan, terhalang oleh ilusi. Disebutkan oleh Guru Pathik bahwa pada hakikat semua adalah satu adanya. Karena itu jangan tertipu oleh pengelihatan.
Pikiran: berkaitan dengan energi kosmik, terhalang oleh kemelekatan terhadap dunia. Karena itu, lepaskanlah keterikatan (perasaan) terhadap harta, jabatan bahkan keluarga.
PETA KITAB MADARIJUS SALIKIN
Dalam kitab Madarijus Salikin karya Ibn Qayyim Al-Jauziyah, dijelaskan bahwa terdapat tujuh medan yang harus dilalui seorang penempuh jalan spiritual untuk mencapai Kebenaran Tertinggi. Ketujuh medan itu adalah.Hutan Kegelapan
Darimana kita datang? Kemana kita menuju? Mengapa kita hadir ke dunia ini? Semua ketidakjelasan ini menjadikan dunia ini seperti hutan yang gelap membingungkan. Dalam hutan ini banyak orang yang sekali waktu berjalan ke sini sekali waktu berjalan kesana lalu berputar-putar kehilangan arah.
Orang yang tersadar mengenai hal ini akan merasa hampa meski belum tahu apa yang sebenarnya ia cari. Tapi dengan jujur mengakui kebingungan dan ketidaktahuannya serta kebutuhannya kepada Tuhan orang itu dapat keluar dari hutan yang gelap dan membingungkan itu. Sedangkan orang yang pura-pura tahu akan tersesat di hutan ini.
Ibn Qayyim menulis: “Jalan pertama menuju Allah adalah kejujuran; tanpa itu, kaki tak akan melangkah.”
Lembah Hawa Nafsu
Setelah keluar dari hutan dan menemukan arah, seseorang akan berhadapan dengan lembah hawa nafsu. Apabila dituruti hawa nafsu akan menjatuhkannya ke dalam jurang-jurang yang kadang dasarnya tidak terlihat.
Seseorang yang ingin mencapai kebenaran tertinggi harus menundukkan keinginan diri, menjaga ibadah walau manisnya tidak terasa. Ia juga harus memiliki sifat sabar dan semangat rela berjuang (melawan hawa nafsu) untuk dapat melewati lembah hawa nafsu ini dengan selamat.
Ibn Qayyim menulis: “Sabar adalah kuda tunggangan menuju Allah; tanpa itu engkau berjalan kaki di padang yang luas.”
Setelah berhasil berjuang memanjat keluar dari lembah hawa nafsu itu, kamu akan berada di gurun kesendirian dan kekeringan rasa. Kenikmatan berbuat baik akan hilang ditelan masa di gurun itu. Di sana kamu akan diuji apakah kamu berjalan sekadar untuk merasakan nikmat atau karena kerinduan yang tulus pada Kebenaran Tertinggi itu?
Untuk dapat melaluinya, kamu harus memiliki sifat tawakkal (berserah total pada keputusan Allah) dan ikhlas (tulus tanpa pamrih).
Ibn Qayyim berkata: “Allah mengeringkan hati hamba-Nya agar ia tidak bergantung pada rasa, tetapi pada Rabb-nya.”
Setelah seseorang berhasil melalui gurun ujian kesepian, naiklah ia ke gunung yang tinggi. Di gunung itu diterimanya ilmu, pujian, kedudukan yang tinggi dan bahkan kemuliaan-kemuliaan (karamah). Semua penderitaan yang dilalui di lembah dan gurun seolah terbayarkan sudah di gunung ini. Tapi mereka yang tidak menyadari bahwa kedudukan yang tinggi itu pun hanya suatu tahapan akan jatuh pada kesombongan.
Di sini gunung itu, seseorang akan diuji dengan keagungan diri. Untuk dapat melaluinya, seseorang harus memiliki sifat tawadhu’ (rendah hati) dan muroqobah (kesadaran terus diawasi Allah).
Setelah berhasil melalui gunung yang tinggi itu tanpa menjadi sombong, tibalah seseorang di dataran luas yang dipenuhi cahaya. Hati mulai luas, pandangan menjadi terang. Di sana seseorang akan menyaksikan hikmah Allah di balik segala sesuatu.
Tapi tersingkapnya berbagai hikmah itu menyebabkan banyak penempuh perjalanan menuju Kebenaran Tertinggi terhenti karena merasa sudah sampai.
Untuk dapat melaluinya, seseorang harus memiliki sifat senantiasa bersyukur (yakni mengunakan segala yang telah diberi sesuai kehendak yang memberi) dan istiqomah (konsisten).
Jangan berhenti pada keindahan cahaya; teruslah melangkah hingga ke sumbernya.
Apabila seorang penempuh jalan spiritual tidak terkecoh di padang datar yang terang benderang itu, dapatlah ia naik ke langit dan melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang lebih luas. Ia akan melihat segala sesuatu yang telah ia lalui adalah kecil saja.
Pada titik itu, bertanyalah ia, dimanakah kiranya Kebenaran Tertinggi yang dicarinya itu. Langit keakuan itu terlalu luas dan banyak sekali orang yang akhirnya gagal menemukan jalan keluar darinya. Akan tetapi seorang penempuh jalan spiritual yang memahami akan menyadari bahwa tiada pelaku selain Allah. Ego/keakuannya perlahan lenyap (fana’) lalu baqa’ dan segala sesuatu akhirnya tampak sebagai manifestasi kehendak-Nya.
Orang-orang yang berhasil naik dari langit menuju alam akal akan mendapati diri mereka berada di hadapan benteng yang terlalu kokoh. Di sana seseorang diuji apakah ia rela meninggalkan akal yang sebelumnya menemani setiap langkahnya demi bertemu dengan Dia.
Sebagaimana seorang tamu yang melepaskan sandalnya saat memasuki kediaman Sang Raja, dengan penuh hikmah dan adab seorang penempuh jalan spiritual akan menanggalkan akalnya demi bertemu dengan Tuhannya.
PETA PARA BURUNG MANTIQ ATH THAIR
Fariduddin Attar, seorang mistikus, dalam kitabnya menceritakan kisah sekelompok burung mencari raja mereka, Simurgh (yang merupakan lambang bagi Tuhan) di bawah bimbingan seekor hud-hud (yang merupakan lambang bagi pembimbing ruhani). Dalam perjalananan menemukan Simurgh itu, mereka melalui tujuh lembah. Lembah-lembah itu adalah:
Lembah Pencarian (Ṭhalab)
Ujian pertama para burung itu adalah keraguan, kemalasan dan keengganan meninggalkan rumah. Meskipun semua burung menghendaki kebenaran, cinta dan kebebasan tapi hanya beberapa burung yang benar-benar haus akan kebenaran, berani mencarinya sendiri dan menempuh jalan tanpa jaminan. Mereka belajar bahwa pertanyaan dan kerinduan tak kalah penting dibanding jawaban dan yang dirindukan. Dan merekalah yang dapat melalui ujian pertama itu.
Lembah Cinta (‘Isyq)
Di lembah ini kecintaan dan kerinduan para burung terhadap sang raja diuji. Banyak yang mengaku mencintai sang raja tapi mereka tidak tahan terhadap panasnya api cinta itu. Burung yang takut dan enggan terbakar cinta mundur. Sedangkan mereka yang bersedia terbakar demi cinta melanjutkan perjalanan.
Lembah Pengetahuan (Ma‘rifah)
Di lembah ini, burung-burung diminta untuk mempertanyakan apa-apa yang mereka kira telah mereka ketahui. Banyak burung tidak mengizinkan apa-apa yang telah mereka ketahui dipertanyakan, maka mereka mundur dan gagal. Bagi banyak burung yang lain ketidakpastian terlalu berat untuk ditanggung, mereka pun mundur dan gagal.
Mereka yang berani mempertanyakan apa yang selama ini mereka kira mereka tahu selamat dan dapat melanjutkan perjalanan. Mereka itulah yang belajar bahwa pengetahuan sejati hanya dapat datang pada yang senantiasa merasa tidak tahu.
Lembah Kecukupan (Istigna’)
Di lembah ini, para burung diminta melepaskan kehendak-kehendak mereka. Keterikatan dunia (harta, nama baik) dan ketamakan rohani (ingin balasan surga, kedudukan, karamah). Maka semakin sedikitlah burung yang dapat melanjutkan perjalanan. Di lembah itu mereka belajar bahwa kekayaan sejati bukanlah memiliki segala yang diidam-idamkan tetapi adalah bebas dari merasa butuh terhadap apapun selain Tuhan. Dan bahwa yang selama ini mempenjarakan mereka sebenarnya bukan dunia tetapi rasa butuh mereka terhadap dunia itu.
Lembah Kesatuan (Tauhid)
Di lembah ini, para burung diminta untuk melepaskan pandangan mereka atas dualitas. Tidak ada yang namanya aku, kamu atau dia. Seluruhnya adalah satu kenyataan saja. Tapi melepaskan identitas itu berarti melepaskan seluruh cerita tentang diri kita sendiri dan mengakui bahwa diri kita ini tidak istimewa sama sekali. Hanya satu debu di antara debu-debu lain yang larut dalam pusaran ruang dan waktu. Maka banyak burung gugur di lembah ini.
Mereka yang sanggup melepaskan keakuan, melihat segalanya sebagai satu. Menari sesuai kehendak Yang Satu.
Lembah Keheranan (Ḥayrah)
Para burung yang melanjutkan perjalanan tiba di lembah keheranan. Mereka berharap setelah mencapai sejauh ini segalanya menjadi lebih terang dan jelas tetapi tidak! Segala sesuatu malah menjadi seperti mimpi, aneh dan tidak masuk akal. Arah atas dan bawah menjadi hilang, urutan masa lalu dan masa depan pun menjadi kacau. Burung yang mengharapkan Tuhan akan tunduk pada kaidah-kaidah logika tidak tahan dan perlahan mundur.
Akan tetapi mereka yang tahu bahwa Tuhan tidak dapat dibatasi dan dikurung dalam kaidah-kaidah logika berjalan terus. Mereka kebingungan dan keheranan. Mereka tidak memahami misteri Tuhan dan mereka menerima itu. Mereka mengagumi keagungan Tuhan tanpa syarat.
Lembah Fana dan Baqa (Faqr wa Fana’)
Di lembah ini, dan tidak banyak yang sampai ke lembah ini, hanya para burung yang sanggup musnah (secara spiritual), kehilangan diri dan bentuk yang dapat melanjutkan perjalanan.
Setelah semua itu tersisalah tiga puluh burung di tempat yang tidak ada apapun di dalamnya kecuali hanya mereka. Lalu sadarlah tiga puluh burung itu bahwa merekalah Simurgh yang dimaksud oleh Hud-hud sejak semula. Dalam Bahasa Indonesia Simurgh berarti tiga puluh burung.
Semua ini adalah rahasia yang tak akan bocor kepada yang bukan ahlinya. Maka beruntunglah orang yang bersedia menempuh jalan itu. Dan merugilah mereka yang mengira telah memahami rahasia itu hanya dengan membaca cerita. Maka carilah guru dan jadilah hamba Rabbani.