"Semakin banyak manusia yang mati dalam dosa justru semakin bagus."  MUNCULNYA TANDA-TANDA TUHAN YANG MEMUKAU  Mereka yang selamat...

Memoar Aku dan Manusia (2)

bagaimana iblis dan setan menyesatkan manusia dari zaman nabi adam
"Semakin banyak manusia yang mati dalam dosa justru semakin bagus." 

MUNCULNYA TANDA-TANDA TUHAN YANG MEMUKAU 

Mereka yang selamat dari sapu bersih melanjutkan kehidupan dan membangun peradaban. Sebagaimana sebelumnya, aku mengusahakan permusuhan dan mencerai beraikan barisan pertahanan mereka. Kemudian jumlah mereka terus bertambah banyak.

Tuhan menghubungi beberapa manusia lagi secara langsung lalu melantik mereka menjadi pemberi kabar dan peringatan di kampung mereka masing-masing. Kepada kaum Ad, Tuhan mengutus saudara mereka, Hud. Kepada kaum Tsamud, Allah mengutus saudara mereka, Shaleh.

Aku berhasil membuat kaum Ad mendustakan Hud dengan mengatakan bahwa cerita Hud mengenai banjir di zaman Nuh tidak lain hanyalah dongeng belaka. Tetapi aku gagal membuat kaum Tsamud mendustakan Shaleh. Aku tidak mengira Tuhan akan mendukung orang-orang yang Dia utus dengan keajaiban yang tidak mungkin dilakukan oleh selain-Nya. Karena itu, aku dorong orang-orang paling rusak dari kaum Tsamud untuk membunuh unta raksasa yang terus menarik orang-orang kembali pada jalan Tuhan meskipun mereka sendirilah yang meminta unta itu sebagai tanda.

Pembunuhan terhadap unta Tuhan itu adalah pencapaian besar. Aku benar-benar berhasil membuat mereka menjadi orang-orang yang dimurkai Tuhan dan dibinasakan. Dan pencapaian itu membuatku terpikir, jika manusia mampu mengayunkan tangannya untuk membunuh unta Tuhan, mengapa tidak sekalian saja aku bujuk mereka untuk membunuh utusan Tuhan?

MUNCULNYA KERAJAAN

Orang-orang yang hidup tanpa aturan mustahil dapat hidup teratur, orang yang abai terhadap perintah-perintah Tuhan akan segera binasa tanpa pemerintah. Karena itu, lahirlah suatu sistem pemerintahan yang mirip dengan kerajaan-kerajaan jin yang dulu ditumpas oleh para malaikat.

Di kerajaan-kerajaan kecil itu, Aku melihat orang-orang rela menyerahkan sebagian hak mereka kepada tokoh-tokoh terpandang demi keteraturan lalu aku mendapatkan ide. Bukankah kekaguman mereka pada tokoh-tokoh itu dapat kumanfaatkan untuk menggeser posisi para utusan dan orang-orang shaleh dari hati-hati mereka?

Jika sebelumnya aku harus menggoda seorang demi seorang, kini aku cukup menggoda sang raja. Dengan luasnya kekuasaan yang dipegang, kerusakan satu orang dalam sekejap dapat menjalar ke seluruh negeri. Dengan adanya kerajaan yang harus dibela, perang dan tumpahnya darah demi kekuasaan menjadi sesuatu yang mudah.

Aku juga terus pahamkan pada mereka bahwa mereka tidak lebih dari apa yang terlihat, segumpal tanah hina yang dibentuk. Dan terus pula memahamkan mereka betapa besar hutang yang mereka terhadap matahari yang menyinari, bulan yang menerangi dan bintang-bintang yang memberi arah. Hingga pada suatu titik, aku berhasil meyakinkan sang raja untuk mengajak penduduk negerinya memuliakan matahari, bulan dan bintang itu sebagai tuhan selain Dia Yang Menciptakan.

Saat itu Ibrahim muncul di jantung kerajaan dengan kemampuan argumentasi yang mengagumkan. Tidak seorang pun dapat menjawab argumentasinya dan membela penyembahan terhadap matahari, bulan dan bintang sehingga satu-satunya pilihanku saat itu adalah membangkitkan kemarahan sang raja karena telah secara tidak langsung disebut bodoh dan menanamkan ketakutan terhadap sang raja dalam diri mereka yang hadir.

Kemarahan sang raja dengan segera menjadi api yang berkobar hebat di tengah kota. Dapatkah kalian membayangkan betapa gembiranya aku waktu itu? Membunuh seorang utusan merupakan kejahatan bahkan dalam peperangan sekali pun. Sedangkan yang hendak mereka bunuh saat itu bukan sekadar utusan tetapi utusan Tuhan, dengan api pula.

Ketika orang-orang kebingungan mengenai cara memasukkan Ibrahim itu ke dalam api yang keterlaluan besarnya, aku menjelma dan memberi mereka usulan agar membuat ketapel. Kukira sudah waktunya manusia dilempar sebagaimana anak-anakku dilempar saat hendak mencuri dengar berita-berita langit.

Usulanku itu mereka terima lalu aku pun duduk manis menanti kebinasaan yang akan segera menimpa mereka. Ya, meskipun Ibrahim terikat di atas ketapel dan siap untuk dilemparkan ke dalam api, justru keadaan merekalah yang sedang dalam bahaya. Begitu Ibrahim mengangkat tangannya, mampuslah mereka semua dalam dosa percobaan pembunuhan terhadap utusan Tuhan.

Tapi bukan begitu ceritanya. Tidak seperti para pemberi kabar sebelumnya, Ibrahim tidak mengangkat tangan dan mengadukan perbuatan kaumnya kepada Tuhan. Ia menerima perlakuan mereka itu sebagai perlakuan Tuhan dan menyerahkan segalanya pada kehendak-Nya. Maka Tuhan pun menunjukkan kuasa-Nya. Ibrahim tidak terbakar meski telah masuk ke dalam kobaran api. Ia bahkan merasakan api itu sejuk meskipun tali yang mengikat tangannya habis terbakar.

Sulit kupercaya manusia bisa mencapai tingkatan yang membuat jasadnya haram dimakan api macam itu.

Ketika api itu akhirnya padam dan Ibrahim keluar dari tengah abu dan arang, tidak ada sesiapa yang dapat berkata apa-apa. Ibrahim tahu itu adalah waktu baginya untuk pergi maka pergilah ia bersama istri dan keponakannya.

Setelahnya kepergiannya, aku berusaha menyempurnakan penindasan yang terjadi di kerajaan dengan: 1) membisikkan sang raja bahwa dia adalah orang yang dipilih Tuhan menjadi dewa alias wakil-Nya di muka bumi, 2) menjadikan rakyat terbiasa dengan penindasan dan ketidakadilan hingga akhirnya dianggap wajar. 3) membangun filosofi bahwa berhala dari kayu dan batu hanyalah simbol bagi kekuatan yang lebih besar lalu melembagakan kesesatan agar dapat dibela dalam debat.

PERANG SAUDARA

Dahsyatnya kerusakan yang dapat dihasilkan dengan merusak penguasa sempat melalaikan aku dari merusak unit terkecilnya keluarga. Jika aku dapat membuat manusia memusuhi saudara kandungnya sendiri, tentu mereka akan lebih mudah memusuhi sepupu jauhnya yang berbeda ras dan warna kulit. Maka aku kembali pada keluarga Ibrahim dan berusaha menjadikannya berselisih sebagaimana berselisihnya anak-anak Adam.

Kesempatan emas itu muncul di keluarga Ya’qub. Dengan pengalaman yang saat itu kumiliki, aku dapat dengan mudah menyulut kedengkian anak-anak Ya’qub terhadap Yusuf. Maka yang sekali ini berhasil kubangkitkan bukan lagi kedengkian pribadi tapi kedengkian kelompok yang dapat saling menguatkan dan memberikan pembenaran. Aku juga belajar untuk membungkus kebencian ini dengan alasan-alasan manis seperti “demi cinta ayah” atau “demi tegaknya keadilan”.

Meskipun terjauhnya Yusuf dari keluarganya malah dijadikan Allah sebagai sebab selamatnya Mesir dan negeri-negeri di sekitarnya dari paceklik panjang, aku belajar bahwa perselisihan internal layak untuk terus menerus diusahakan.

MUNCULNYA FIR’AUN

Naiknya Yusuf menjadi bendaraha Mesir menyebabkan keadilan tegak dan kemakmuran merata di negeri itu. Keluarga Ya’qub pun dapat hidup dengan nyaman di bawah lindungan Akhnatun, raja Mesir. Sambil mengusahakan kekuasaan kembali ke tangan para penyembah dewa di negeri itu, aku berusaha melalaikan orang-orang yang hidup di tengah kemakmuran itu dari Tuhan. Ternyata jauh lebih mudah membuat lalai orang yang hidup nyaman daripada mereka yang hidup dalam penderitaan.

Kemudian aku mengajak anak-anak dan saudara-saudaraku memikirkan bagaimana caranya agar orang-orang yang terlalai dari Tuhan ini tidak menjadi sadar saat berhadapan dengan keajaiban-keajaiban yang ditunjukkan para pemberi kabar seperti Shaleh dan Ibrahim. Banyak usulan diajukan tapi yang paling menarik perhatianku adalah, “Bagaimana jika kita gunakan saja sulap yang diajarkan Harut dan Marut? Jika orang-orang kesulitan membedakan mana yang ilusi dan mana yang nyata, mereka tentu akan menganggap seluruh hal yang menakjubkan mata sebagai sulap belaka.”

Itu usul yang luarbiasa. Usul itu kuterima dan sejak saat itu kami berusaha mendorong setiap orang di Mesir itu untuk mencintai sulap sebagai seni dan bahkan sebagai gaya hidup.

Setelah Yusuf wafat, sulap itu mendapat tempat yang amat tinggi di hati rakyat Mesir. Fir’aun yang naik tahta menggantikan raja pun memberikan tempat khusus untuk para pesulap di istananya. Aku berhasil membuat mereka menganggap keturunan Ya’qub yang dibawa Yusuf ke Mesir sebagai beban hingga keturunan Ya’qub itu dijadikan budak oleh mereka.

Dari sekian banyak Fir’aun, yang kerusakannya paling parah adalah yang mati tenggelam di laut merah. Ia tidak hanya membuat orang-orang yang diperbudak terjajah secara fisik tapi juga secara mental. Adakah selain dia yang mampu membungkam rakyatnya sedemikian rupa sehingga mereka diam saja meskipun anak mereka yang baru lahir disembelih di depan mata?

Tidak hanya itu, Fir’aun yang mati tenggelam di laut merah ini pun adalah satu-satunya makhluk yang tidak menyaksikan kelahiran langit dan bumi tapi berani mengaku bahwa dirinya adalah Tuhan tertinggi. Dari Fir’aun yang satu itu aku jadi memahami bahwa pengakuan atas keagungan diri itulah ternyata yang selama ini dikejar hawa nafsu. Hanya saja, tidak ada yang pernah benar-benar mendapat kesempatan untuk melantangkan kehendak tertinggi hawa nafsu itu sebelum Fir’aun ini. Bagaimana seseorang bercita-cita memiliki hati manusia jika jasad mereka atau bahkan harta mereka pun belum berada di tangannya.

Apakah aku juga sebaiknya mulai mengaku sebagai Tuhan tertinggi? Hmm...

<bersambung>