Tadi siang aku bicara dengan istriku tentang kesuksesan beberapa negara menjalankan rencana pembangunan jangka panjang mereka. Jika tidak di...

Perbedaan Akunya Firaun dan Akunya Al-Hallaj

meluaskan keakuan ke puncaknya

Tadi siang aku bicara dengan istriku tentang kesuksesan beberapa negara menjalankan rencana pembangunan jangka panjang mereka. Jika tidak direncanakan dengan baik, proyek yang butuh waktu lebih dari dua periode kepemimpinan amat mungkin terbengkalai setelah menghabiskan sejumlah besar perhatian dan sumber daya. Proyek raksasa yang secepat-cepatnya selesai dalam waktu seratus tahun tentu butuh lebih dari sekadar perencanaan yang baik.

Kukira rahasianya ada pada pemimpin yang tidak hanya memikirkan kepentingannya sendiri tapi juga memikirkan kepentingan bangsanya. Jika yang ada dalam pikiran seorang kepala pembangunan hanyalah bagaimana agar proyek yang ia jalankan memberi manfaat bagi dirinya dan keluarganya tentu hasilnya akan berbeda dengan proyek yang direncanakan dan dijalankan oleh seorang kepala pembangunan yang berpikir bagaimana agar proyeknya memberi manfaat bagi anak cucu orang-orang di daerahnya. Orang semacam itulah yang kusebut telah meluaskan keakuannya dan tentang itulah kita hari ini akan berdiskusi.

SATU TUBUH

Ketika kita tumbuh dan belajar membedakan diri dari lingkungan, kita membangun sebuah konsep tentang siapa yang kita sebut aku. Dengan konsep itu, kita menolak hak-hak kita dicederai. Maksudku kita menolak dicubit tanpa alasan dan menolak mainan kita dipinjam tanpa izin. Agar tidak menjadi keburukan, bersama konsep aku paling dasar itu biasanya ditanamkan pula aturan emas: jangan lakukan pada orang lain apa yang kamu sendiri tidak mau menerimanya.

Tanpa aturan emas itu, seorang anak bisa tidak peduli saat temannya dicederai atau malah dia sendiri yang mencederai hak-hak temannya. Anak dengan konsep aku paling dasar itu bisa saja tumbuh menjadi seorang yang rela menyakiti orang lain demi kenyamanan dirinya sendiri. Anak itu bisa menjual tabung gas atau sepeda motor milik orang tuanya demi kudapan yang sedikit. Dan anak itu bisa menjadi orang yang sanggup menjual kita semua sebagai budak demi liburan yang amat sebentar.

Aturan emas merupakan solusi paling sederhana untuk mengimbangi potensi buruk yang dimiliki konsep aku paling rendah yang dikembangkan manusia. Tapi kita tidak akan jadi bicara tentang meluaskan keakuan jika aturan emas itu kita bahas juga hari ini.

Potensi buruk konsep aku paling dasar itu dapat dikikis dengan medefinisikan aku lebih luas.

SEAYAH SEIBU

Orang yang meluaskan definisi akunya ke keluarganya tidak hanya akan menolak hak-hak dirinya tercederai tapi juga menolak hak-hak keluarganya tercederai. Orang yang menganggap keluarganya sebagai bagian dari dirinya tidak akan rela keluarganya itu kecurian sebagaimana tidak rela dirinya kecurian.

Orang yang telah meluaskan keakuannya ke tahap ini kukira amat banyak. Itu sebabnya kita sering melihat seorang ayah yang sanggup banting tulang bekerja siang dan malam asalkan anak-anaknya dapat sekolah dan punya masa depan yang cerah. Itu sebabnya kita sering melihat seorang ibu yang sanggup menahan perihnya hidup bersama orang yang tidak lagi ia cintai asalkan anak-anaknya dibesarkan dalam sebuah keluarga yang utuh.

Orang-orang ini menganggap keluarga dan anak-anaknya sebagai dirinya sendiri. Berlelah-lelah demi kesenangan anak-anak bagi mereka tidak ada bedanya dengan berjinjit demi nonton bola.

Tapi jika berhenti sampai di sini, seseorang mungkin saja menggelapkan dana desa demi kesenangan anak-anaknya. Karena itu, kita harus terus naik menuju konsep aku yang lebih luas lagi.

SESUKU

Pernahkah ketemu orang yang rela jauh-jauh ke sudut kota hanya untuk belanja di toko seseorang yang sesuku dengannya? Orang-orang itulah yang kukatakan tidak berhenti di keluarganya tapi meneruskan definisi akunya kepada orang-orang sesukunya.

Bagi orang-orang pada tingkatan ini, kehilangan sedikit demi orang-orang sesuku itu tidak ada bedanya dengan pemberian yang dilakukan tangan kanan ke tangan kiri. Orang-orang ini akan berkata, “untungnya dia ya untungku juga.”

Jika orang ini tinggal bersama orang-orang sesukunya, maka orang ini tidak akan pernah merasa kecurian. Kalaupun ada barang di rumahnya yang hilang, ia hanya akan menganggap barangnya itu berpindah tempat. Kalaupun batas tanahnya dipindahkan orang di kampungnya, ia hanya akan menganggap kepemilikan tanahnya itu pindah dari sebagian dirinya ke sebagian dirinya yang lain. Tapi orang-orang pada tingkatan ini biasanya hanya ditemukan pada kelompok-kelompok minoritas.

Konsep aku adalah orang-orang sesukuku ini dapat diteruskan menjadi konsep aku adalah orang-orang sebangsaku. Sampai pada tingkatan inilah nasionalisme bercita-cita diresapi.

Dalam Al-Qur’an, kata yang digunakan Allah untuk menyebut saudara sebangsa setanah air memang dirimu sendiri.

وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَٰقَكُمْ لَا تَسْفِكُونَ دِمَآءَكُمْ وَلَا تُخْرِجُونَ أَنفُسَكُم مِّن دِيَٰرِكُمْ ثُمَّ أَقْرَرْتُمْ وَأَنتُمْ تَشْهَدُونَ
Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu (yaitu): kamu tidak akan menumpahkan darahmu, dan kamu tidak akan mengusir dirimu sendiri dari kampung halamanmu, kemudian kamu berikrar (akan memenuhinya) sedang kamu mempersaksikan.” (QS. Al-Baqarah: 84)

Yahudi merupakan sebuah suku yang berkembang menjadi bangsa yang amat kuat nasionalismenya. Zionisme yang tumbuh dalam komunitas Yahudi pun begitu. Itu sebabnya mereka luas daerah kekuasaan mereka terus meningkat dalam seratus tahun terakhir. Pencapaian yang dampaknya baru bisa dirasakan puluhan tahun kemudian seperti itu tidak akan dijadikan cita-cita oleh seorang yang definisi akunya tidak lebih dari ujung rambut ke ujung kaki.

SEIMAN

Dalam Islam, kita ditunjuki Nabi untuk mengarahkan keakuan jahiliyah ini kepada keakuan seiman.

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ، وَتَرَاحُمِهِمْ، وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mengasihi, mencintai, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga dan panas (turut merasakan sakitnya).” (HR. Bukhari no. 6011 dan Muslim no. 2586)

Orang yang benar dalam pengakuan imannya tidak akan merasa kehilangan ketika bersedekah kepada saudaranya, tidak akan merasa rugi dengan sedikit pengorbanan demi kepentingan saudaranya dan secara tulus ikut berbahagia dengan pencapaian-pencapaian saudaranya sesama orang beriman. Itu karena kehilangan dan penderitaan hanya mudah dialami orang-orang yang akunya sempit. Orang-orang yang akunya luas seperti orang beriman lebih jarang mengalami kehilangan dan menderita karenanya.

Konsep aku seperti ini menembus batas bangsa dan tanah air. Itu sebabnya tidak kenal dalam Islam penjajahan demi keuntungan suatu bangsa tertentu. Bersama dengan hukum yang adil serta hikmah, konsep satu tubuhnya orang-orang beriman ini menjadi resep yang ditawarkan Islam untuk perdamaian dunia.

Tapi bahkan ini bukan puncaknya. Dapatkah kamu membayangkan konsep aku yang lebih luas lagi?


***


Jika kamu meluaskan batas-batas yang kamu sebut aku ke cakrawala dan melebur segala yang wujud ke dalam dirimu hingga tidak tersisa apapun di luar dirimu, tibalah kamu di puncak semua ini. Ketika aku yang kamu maksud bukan sebatas ujung rambut ke ujung kakimu, keluargamu, saudara sesuku atau sebangsamu, atau seluruh umat manusia tapi segala yang ada, sampailah kamu di hadapan pemahaman Aku yang sejati.

اِنَّنِيْٓ اَنَا...
Sesungguhnya Aku adalah Aku…

Yaitu Aku yang memenuhi segenap ruang dan meliputi seluruh alam. Yaitu satu-satunya Dzat yang sebenarnya layak mengatakan Aku. Tahukah kamu siapa itu?

اِنَّنِيْٓ اَنَا اللّٰهُ لَآ اِلٰهَ اِلَّآ اَنَا۠ فَاعْبُدْنِيْۙ وَاَقِمِ الصَّلٰوةَ لِذِكْرِيْ
"Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada tuhan selain Aku. Maka, sembahlah Aku dan tegakkanlah salat untuk mengingat-Ku." (QS. Thaha: 14)

Tentang orang-orang yang akunya seperti inilah, Allah berfirman dalam sebuah hadits Qudsi, “Siapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku mengumumkan perang terhadapnya dari-Ku. Tidak ada yang paling Aku cintai dari seorang hamba kecuali beribadah kepada-Ku dengan sesuatu yang telah Aku wajibkan kepadanya. Adapun jika hamba-Ku selalu melaksanakan perbuatan sunah, niscaya Aku akan mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka (Aku) menjadi pendengarannya yang dengannya dia mendengar, (Aku) menjadi penglihatan yang dengannya dia melihat, menjadi tangan yang dengannya dia memukul, menjadi kaki yang dengannya dia berjalan. Jika dia memohon kepada-Ku, niscaya akan Aku berikan dan jika dia minta ampun kepada-Ku, niscaya akan Aku ampuni, dan jika dia minta perlindungan kepada-Ku, niscaya akan Aku lindungi.”

Kalau memahami semua itu masih terlalu berat untukmu, mungkin itu karena akumu masih seperti akunya Fir’aun yang digunakannya untuk berbuat kerusakan di bumi,
فَقَالَ أَنَا۠ رَبُّكُمُ ٱلْأَعْلَىٰ
Maka (Fir’aun) berkata: ‘Akulah tuhanmu yang paling tinggi.’” (QS. An-Naziat: 24)

Atau seperti akunya Iblis yang digunakannya untuk mengingkari anugerah Allah ke atas orang lain.
قَالَ أَنَا۠ خَيْرٌ مِّنْهُ خَلَقْتَنِى مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُۥ مِن طِينٍ
Menjawab (Iblis) ‘Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan aku dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.’” (QS. Al-A’raf: 12)

Semoga Allah sampaikan kita pada tingkatan itu sebelum mati. Aamiin