Tidak seorang pun ingin tersesat, baik saat mencari alamat maupun saat kembali menuju kampung akhirat. Tersesat berarti gagal seseorang mencapai tujuan yang dikehendaki. Oleh karena itu, wajar tidak seorang pun menghendaki kesesatan. Lalu bagaimana mungkin takut sesat menjadi keterlaluan?
Tadi pagi, aku bicara sama bapak-bapak di kedai lontong. Katanya sebagian temannya ogah ngaji karena mereka takut sesat. Itulah kukira yang disebut takut sesat yang keterlaluan. Maka kukatakan, “kalaupun sesat, itu masih mending ketimbang tidak pernah keluar rumah untuk ngaji.”
Itu karena, orang yang tersesat mengungguli mereka dalam setidaknya dua hal. Orang yang tersesat jelas telah memiliki tujuan (kebaikan) dan bergerak untuk mencapai tujuan itu (meskipun pada akhirnya ia tidak sampai di tujuan karena nyasar). Orang yang tidak memiliki tujuan mustahil bisa tersesat, begitu pula orang yang tidak pernah bergerak.
Jika seseorang yang tidak keluar dari rumahnya, kita belum dapat pastikan apakah ia memiliki tujuan dan cukup berani bergerak ke arah itu kalaupun suatu saat memilikinya. Orang yang tidak jelas tujuan hidupnya hanya akan berjalan kesana kemari dan orang semacam itu untuk dikatakan sesat pun tidak layak. Dia tidak punya arah dan tujuan!
Orang yang tersesat dari tujuannya atau dari jalan kebaikan kukira tidak berbeda dari orang yang hendak berangkat dari rumahnya ke taman kota tetapi malah nyasar ke katakanlah ke pasar. Asalkan ia bersedia bertanya dan mengubah arah setelah mengetahui bahwa ia tersasar, maka itu sama sekali tidak mengapa. Dia tinggal putar arah lalu kembali ke jalan yang benar menuju ke taman kota.
Aku mensyukuri usaha orang yang berhasil dan menghargai usaha orang yang gagal mencapai tujuan-tujuan mereka. Jika demikian keadaan aku yang bukan siapa-siapa ini, bagaimana menurutmu keadaan Yang Maha Mensyukuri?
***
Aku tidak berkata seseorang boleh merasa cukup dengan kesesatan. Aku hanya berkata bahwa keadaan orang yang tidak melakukan apa-apa karena takut tersesat itu lebih buruk dari mereka yang tersesat. Para Nabi pun pernah tersesat jalan. Nabi Musa pernah kelewatan ketika hendak mencari guru yang dipilihkan Allah untuknya. Nabi Muhammad pun diceritakan oleh Allah dalam surah Adh-Dhuha pernah "sesat" sebelum Allah tunjuki jalan-Nya. Jadi, mengapa takut untuk tersesat?
Pergilah menuntut ilmu! Jika belakangan kamu ketahui pengajianmu itu sesat, putar arah! Setidaknya kamu telah beberapa langkah lebih dekat dengan kebenaran ketimbang mereka yang dikatakan sesat saja pun tidak pantas. Jika kamu hendak takut, takutlah menjadi orang yang menutup diri dari koreksi, menolak diluruskan dan enggan berputar arah (alias kafir).
Sebab orang yang tersesat masih punya harapan untuk kembali ke jalan yang benar tapi tidak demikian keadaan orang yang kafir (yaitu orang yang menutup diri dari segala masukan).
