Pernah suatu ketika kami pulang membawa balon untuk anak-anak. Mereka yang waktu itu masih balita gembira sekali. Mereka bermain dengan balon masing-masing sambil tertawa dan amat sangat gembira hingga wajah mereka tampak konyol sekali. Mengingat wajah konyol mereka waktu itu saja sudah cukup untuk membuat aku dan istriku tertawa sampai sekarang.
Jarang sekali aku melihat orang dewasa bergembira segembira itu. Padahal kupikir itu hanya balon. Sambil mengamati mereka bermain dengan balon mereka, aku berkata pada diriku sendiri, “kelak ketika kalian dewasa nanti, kalian akan tahu betapa balon yang membuat kalian meluap-luap ini bukanlah sesuatu yang … signifikan. Balon itu tidak penting, tidak berharga, bahkan tidak terlalu menyenangkan.”
“Tapi tunggu dulu…”
Suatu kesadaran tiba-tiba datang dan berkata, “bukankah tingkah konyol mereka dengan balon mereka itu tidak ada bedanya dengan tingkah bodohmu dengan duniamu?” “Benarkah begitu?”
Anak-anak itu bergembira dengan balon itu sebagaimana kita bergembira dengan dunia ini. Ketika dewasa nanti, mereka akan tahu sebenarnya banyak yang lebih layak dikejar daripada balon itu. Itu pun persis sebagaimana ketika sudah lebih dewasa secara spiritual nanti, kita akan sadar dunia ini sama sekali bukan apa-apa dibandingkan hal-hal yang lebih layak dikejar. Ternyata benar.
Itu artinya: jika sekarang ini aku menganggap anak-anak itu bodoh karena bisa sedemikian gembira hanya dengan balon, maka aku yang bergembira dengan sesuatu semurah dan serendah dunia ini (padahal aku mengaku akalku lebih sempurna dari mereka) tentulah jauh lebih bodoh lagi. “Ya, betul! Kamu itu tolol setolol-tololnya, Bib.”
...إِنَّهُۥ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا“... Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan bodoh.” (QS. Al-Ahzab: 72)
Tulisan ini adalah bagian dari buku terbaruku Separuh Agama. Hubungi WA 0823-23758360 untuk pemesanan.
