Aku sayang anak-anakku dan aku tahu apa yang lebih baik bagi mereka yang akalnya belum sempurna. Itu sebabnya aku tetapkan aturan bagi merek...

Kenapa Ada Banyak Aturan dalam Agama?

kenapa ada banyak aturan dalam agama

Aku sayang anak-anakku dan aku tahu apa yang lebih baik bagi mereka yang akalnya belum sempurna. Itu sebabnya aku tetapkan aturan bagi mereka. Aku mengatur batas jam tidur malam, kriteria anak yang boleh dijadikan teman dan jadwal main gadget. Sebagian dari aturan-aturan ini terasa memberatkan bagi anak-anakku dan membuat mereka bertanya-tanya mengapa seolah-olah aku ingin menyusahkan saja. Tapi aku punya alasan.

Ada aturan yang alasannya dapat dijelaskan dengan mudah. “Terjaga hingga larut malam akan membuat kalian susah bangun pagi.” “teman yang buruk akan membuat kalian susah bersyukur dan dunia terasa lebih sempit.” Tapi ada juga yang penjelasannya harus menunggu hingga mereka cukup matang untuk dapat dicerna. “kenapa terlalu gembira itu buruk?” Sesuatu yang akibat buruknya jelas terlihat mudah dijelaskan tapi banyak sekali hal-hal yang keburukannya tidak segera terlihat di mata anak-anak setengah matang ini.

Kukira kalian juga pernah membaca tentang tiga jenis pilihan: topi, potongan rambut dan tato. Beberapa pilihan seperti topi. Jika kamu salah pilih, kamu dapat dengan segera menggantinya. Sebagian pilihan seperti potongan rambut. Jika salah, kamu masih dapat mengubahnya tapi itu butuh waktu. Sebagian lagi seperti tato, kamu tidak dapat mengubahnya begitu saja. Kamu bahkan mungkin harus menderita dan membayar harganya.

Pilihan yang dampak salahnya tidak parah seperti topi bisa saja kita biarkan menjadi keputusan anak-anak kita sendiri. Kalaupun mereka salah pilih, dampak buruknya akan menjadi guru yang jauh lebih baik dari kita. Allah pun kadang membiarkan dampak buruk suatu pilihan buruk menguasai kita untuk mendidik kita.

ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)

Namun, pilihan - yang jika salah dampaknya tidak mudah diperbaiki bahkan membekas seumur hidup – tidak mungkin dibebaskan seorang yang menginginkan keselamatan bagi anak-anaknya.

Aku peduli dan menginginkan keselamatan bagi anak-anakku. Itu sebabnya aku memilihkan untuk mereka suatu jalan, suatu cara, suatu aturan hidup. Jika tidak, tentulah mereka telah aku biarkan bebas sebebas-bebasnya hingga akhirnya mereka menemui sendiri akibat dari pilihan-pilihan mereka baik atau buruknya.

***

Setelah mencoba menjelaskan latar belakang semua aturan itu sebaik-baiknya, aku berharap anak-anakku percaya, yakin, bersabar, bahkan rela dengan aturan yang kutetapkan tapi kemudian aku ditanya, sudahkah aku sendiri rela dengan aturan yang ditetapkan Allah ke atasku? Sudahkah aku jujur ketika berkata “Radhitu billahi rabba wa bil islami dina”?

مَنْ قَالَ رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا، وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ رَسُوْلًا، وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ
Barangsiapa mengucapkan ‘radhitu billahi rabba, wa bil Islami dina, wa bi Muhammadin Rasula,’ (Aku rela Allah sebagai Rabb, Islam sebagai jalan hidupku, dan Nabi Muhammad sebagai utusan) maka ia pasti masuk surga.” (HR. An Nasa-i dari Abu Sa’id Al Khudriy, r.a)

Sungguh aku belum rela. Aku masih suka protes ketika Rabb-ku menentukan mana yang menjadi bagianku dan bagian saudara-saudaraku. Aku hanya bersabar ketika apa-apa yang menjadi kesenangan nafsuku ternyata diharamkan (oleh agama). Aku masih lebih nyaman menyebut orang lain sebagai panutan ketimbang Nabi Muhammad.

Allah swt jelas-jelas merupakan pihak yang kupercayai paling menyayangiku dan paling mengetahui apa yang terbaik bagiku tapi aku sendiri belum patuh kepada-Nya dengan kepatuhan yang kuharapkan dari anak-anakku. Aku belum menyerahkan diri kepada-Nya dan rela dengan keputusan-Nya sebagaimana penyerahan dan kerelaan diri yang kuharapkan dari anak-anakku. Menyadari semua itu membuatku terhenyak dan terdiam di sudut sepanjang waktu.

Maka, coba kalian pikir! Akankah pemahaman semacam ini kudapatkan jika aku tidak menikah?

Tulisan ini adalah satu dari tulisan dalam buku terbaruku Separuh Agama. Hubungi WA 0821-2375-8360 untuk pemesanan