Dikatakan bahwa satu sujud seorang manusia jauh lebih dicintai Allah ketimbang ribuan tahun sujud seorang malaikat. Itu karena manusia punya kecenderungan untuk membangkang.
Untuk menunjukkan dahsyatnya Kuasa yang dimilikiNya, Allah telah ciptakan suatu makhluk yang tidak menentang dan melaksanakan apapun yang diperintahkan (malaikat). Untuk menunjukkan tidakbutuhnya Dia terhadap apapun (termasuk ketundukkan kita) diciptakannya suatu makhluk yang dikaruniakan kebebasan untuk tetap berada dalam batasan atau melompati batasan-batasan itu (manusia).
Dengan karunia akal yang dapat menghadap dan membelakang, manusia dapat memilih untuk tunduk terhadap perintah dan larangan atau membangkang. Ketika ia memilih untuk tunduk, dapatlah ia diberi ganjaran. Ketika ia memilih membangkang, layaklah ia atas hukuman. Perlu diingat bahwa ganjaran dan hukuman ini tidak layak diberikan bagi sesiapa yang terpaksa (tidak punya pilihan) dalam melakukan sesuatu.
Allah, yang telah mengharamkan kezaliman pada siapapun, telah menjanjikan surga bagi hambaNya yang tunduk dan mengancam dengan neraka siapa-siapa yang menganggap ada sesuatu selain Dia yang setara dengan-Nya, begitu juga terhadap siapa-siapa yang menutup mata, telinga, dan hatinya. Jika Dia mengancam dengan neraka orang-orang yang tidak memilih sendiri jalannya, maka termasuklah Dia golongan mereka yang zalim, Maha Suci Dia dari sifat yang demikian.
Lalu, bagaimana kita memaknai ayat:
وَٱللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat.” (QS. Ash-Shaffat: 96)
Jika kita memeriksa lebih dalam, sebenarnya ayat itu menceritakan argumen Nabi Ibrahim terhadap kaumnya yang menyembah patung-patung yang mereka buat sendiri. Lengkapnya kira-kira begini: “Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu pahat dengan tanganmu sendiri? Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu serta (patung-patung) yang kamu buat itu.”
Lalu bagaimana kita memaknai keazalian takdir? Bukankah Nabi Bersabda bahwa pena (takdir) telah mengering dan segala sesuatu yang akan terjadi sejak penciptaan hingga hari kiamat telah ditulis?
Itu pun benar dan ia tidaklah harus bertentangan dengan apa yang telah bahas sebelumnya. Persoalannya memang agak susah dipahami. Mungkin itulah sebabnya terdapat khabar: “Apabila kamu mendengar seseorang bicara soal takdir, larilah!” Karena itu aku hanya menutup tulisan ini dengan kisah Nabi Adam dan Iblis.
BELAJAR DARI KISAH NABI ADAM DAN IBLIS
Nabi Adam dan Iblis adalah makhluk yang sama-sama pernah tinggal di surga dan sama-sama melakukan kesalahan. Iblis melanggar perintah Allah (untuk bersujud kepada Adam) sedangkan Nabi Adam melanggar larangan Allah (dengan memakan buah yang terlarang). Perbedaan keduanya adalah cara mereka menyikapi kesalahan yang mereka perbuat.
Iblis mengklaim bahwa kesalahan yang diperbuatnya adalah takdir yang ditentukan Allah. Hal itu sebagaimana disebutkan dalam ayat:
قَالَ رَبِّ بِمَآ أَغْوَيْتَنِى لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِى ٱلْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ“Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah MENJADIKAN AKU SESAT, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya” (QS. Al-Hijr: 39)
Karena kesombongannya itu, Iblis direndahkan Allah serendah-rendahnya. Bagaimana pun Iblis secara sadar memilih untuk tidak mengikuti perintah Allah untuk sujud kepada Nabi Adam yang diciptakanNya dari tanah itu.
Sedangkan Nabi Adam dan istrinya sepenuh mengakui bahwa kesalahan yang diperbuatnya adalah kezalimannya terhadap dirinya sendiri. Hal itu sebagaimana disebutkan dalam ayat:
قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَآ أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلْخَٰسِرِينَ“Keduanya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah MENZALIMI DIRI KAMI SENDIRI, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan menyayangi kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A'raf: 23)
Maka Allah pun menurunkan rahmatNya kepada ayah dan ibu kita. Bagaimana pun menjadikan kedua khalifah di muka bumi memang sudah menjadi rencana Allah sejak awal. Dengan sikap merendahnya itu, ayah dan ibu kita dijadikan teladan bagi seluruh alam.
Setiap dari kita punya kesalahan dan Allah telah memberi kita teladan yang baik dalam menyikapi kesalahan itu. Pertanyaannya siapa yang kita pilih sebagai teladan? Ayah ibu kita yang mengklaim kesalahannya dan menyatakan kesucian Tuhan mereka atau musuh kita yang mengklaim kesalahan itu adalah takdirNya sedangkan dirinya sendiri dipandangnya suci?
Bersambung ke: Iblis pun Ingin Bertobat [link]