Setelah beberapa kali ngobrol sama ChatGPT, aku terpesona dengan kecerdasan yang ditunjukkannya lalu membayangkan bagaimana orang-orang di belakangnya mendiskusikan cara agar ia lebih dan lebih mempesona lagi.
Pencarian keindahan, kehebatan dan kesempurnaan yang mempesona adalah fitrah (kecenderungan bawaan) yang ditanamkan Keindahan, Kehebatan dan Kesempurnaan di dalam hati manusia agar mereka mencari dan menemukanNya.
Sayangnya, pencarian manusia atas sesuatu yang mempesona akal dan hati tidak jarang menyesatkan dan meninggalkan mereka di hadapan keindahan dan kehebatan palsu. Alih-alih menemukan mukjizat, mereka malah terpesona oleh sihir. Bukannya terpesona pada kepiawaian Sang Kekasih berkisah, mereka malah mengamuk dan menangisi tokoh-tokoh dalam kisahnya. Bukannya melihat kenyataan yang berada dibalik perumpamaan-perumpamaan, mereka malah mengira perumpamaan itulah kenyataannya.
Demikianlah yang terjadi pada Bani Israil ketika mereka melihat emas yang mereka berikan dibentuk Samiri menyerupai anak sapi. Kita yang hidup setelah diutusnya Nabi Muhammad mungkin tidak mengerti bagaimana patung seekor anak sapi bisa demikian mempesona. Tapi di zaman mereka pesona patung yang tampak demikian hidup itu cukup kuat untuk membuat seorang yang tidak mengenal kebenaran menjadi luluh dan jatuh cinta.
Ketika patung anak sapi yang berkilau keemasan itu ternyata dapat bersuara seperti anak sapi sungguhan saat angin bertiup melalui rongga, bulatlah keyakinan mereka bahwa anak sapi itulah keindahan, kehebatan dan kesempurnaan yang selama ini mereka cari. Maka dari itu, mereka bersimpuh di hadapan si patung anak sapi, meletakkannya di singgasana tertinggi dalam hati mereka, menghabiskan sisa umur mereka memandang pesonanya. Singkatnya, mereka jadikan patung anak sapi itu tuhan mereka.
Demikian pula yang terjadi pada orang-orang Barat ketika seniman-seniman mereka berusaha meniru karya seni terindah Tuhan di atas kanvas. Seorang seniman sadar sesadar-sadarnya bahwa lukisan itu hanyalah warna-warna yang mereka torehkan tapi mereka tetap terpesona pada lirikan mata gadis dalam lukisan itu, mereka tetap jatuh cinta pada senyumnya, mereka tetap birahi seolah gadis itu benar-benar nyata.
Dan kukira itu pula yang terjadi ketika para kecerdasan buatan yang hari ini kita ajak ngobrol menunjukkan kecerdasan-kecerdasan yang amat mempesona. Kita sadar betul bahwa kecerdasan buatan itu hanya sekumpulan rangkaian logika tapi kita tetap terpesona seolah tengah menyaksikan sesuatu yang ilahi. Kita terkesima terhadap apa yang dilakukannya melebihi terkesimanya kita terhadap apa yang dilakukan Dia yang kita sebut sebagai tuhan.
Aku bertanya-tanya: mengapa dengan mudahnya kita terperangkap pada keindahan, kehebatan dan kesempurnaan palsu? Mengapa dengan mudahnya kita tertipu dan menyerahkan singgasana tertinggi dalam hati kita pada kepalsuan-kepalsuan yang sesungguhnya tidak berhak duduk di atasnya? Atau jangan-jangan, sebenarnya kita tahu?
Apakah kita mengagungkan ciptaan manusia sebagai bentuk pengagungan terhadap diri kita sendiri? Apakah kita berpikir, “jika ciptaan kita saja sedemikian hebat, bagaimana pula hebatnya kita yang menciptakannya?” Apakah kita sedang meneladani Fir’aun yang berkata “Akulah Tuhan kalian yang tertinggi”?