Rene Descartes merasa dia tidak dapat benar-benar yakin bahwa apa yang dilihatnya adalah kenyataan. Seperti filsuf lainnya, ia tidak mudah ...

Siapa Aku Sebenarnya?

menunggu istri melahirkan di rumah sakit

Rene Descartes merasa dia tidak dapat benar-benar yakin bahwa apa yang dilihatnya adalah kenyataan. Seperti filsuf lainnya, ia tidak mudah menerima apa yang selama ini dianggap semua orang benar, termasuk adanya alam semesta. Jangan-jangan mataku ini pun tertipu oleh ilusi, begitulah pikirnya. Satu-satunya hal yang diketahuinya pasti adanya hanyalah dirinya yang sedang memikirkan semua itu. Itulah sebabnya ia berkata, “Aku berpikir maka aku ada.”

Imam Ghazali bergerak lebih jauh lagi. Beliau bahkan mencurigai akalnya sendiri. Jika apa yang dianggap benar oleh indra pernah dibuktikan salah oleh akal, bukan mustahil suatu saat akal yang menjadi sandaran kita pun terbukti salah oleh sesuatu yang lain esok hari, begitulah pikir beliau. Itulah yang menyebabkan beliau kehilangan sandaran selama dua bulan hingga akhirnya Allah memberi beliau pencerahan dengan cahaya-Nya.

Bagaimana dengan kita? Kita langsung percaya bahwa matahari bergerak mengelilingi bumi karena begitulah kelihatannya. Kita bahkan menolak percaya pada suatu kabar sampai kita melihatnya dengan mata kepala kita sendiri. Demikianlah amat percayanya kita dengan mata yang belakang terbukti berulang kali tertipu ilusi optik ini. Konyol? Tentu!

Tahukah kamu kekonyolan kita yang lain? Kita percaya bahwa kita ini ada! Ketika Descartes berkata, “Aku berpikir maka aku ada” sebenarnya ia tertipu oleh akal pikirannya sendiri. Persis seperti tertipunya seorang geosentris oleh matanya. Bagaimana aku bisa bilang begitu?

***

Sekarang katakan padaku, apakah kamu menganggap Gemini dan ChatGPT memiliki kesadaran hanya karena keduanya dapat berkata “aku”? Kukira tidak. Kamu selalu bilang kecerdasan buatan itu hanyalah serangkaian logika yang dibangun di atas kode dan kabel. Kalaupun ia dapat berkata “aku”, itu karena ia memang diprogram untuk menirukan kesadaran. Pertanyaanku, lalu apa yang menjadikan kita berbeda?

Kenapa tidak boleh mengatakan bahwa kata-katamu hanyalah getaran udara yang mengalir di antara celah tulang dan daging? Pikiranmu hanyalah kamu ini hanyalah rangkaian logika yang ditulis dalam rantai asam deoksiribo nukleat? Kamu sendiri hanyalah sesuatu yang diprogram untuk dapat berkata “aku”? Jawab kenapa?

Maka, kutegaskan sekali lagi, kamu sebenarnya tidak ada. Jangan lagi bertanya-tanya apakah dunia ini nyata atau tidak! Kamu sendiri pun tidak nyata. Kamu hanya bayang-bayang yang kamu kira ada. Sebab sejak dahulu hanya ada satu Aku. Yaitu Aku yang ada sebelum segala sesuatu. Yang sendirian dulu, kini dan nanti.