Hampir setiap lafazh niat diakhiri dengan lillahi ta’ala. Dengan menyatakan demikian kita menegaskan bahwa apa yang hendak kita kerjakan itu kita kerjakan tanpa ada alasan lain selain karena Allah ta’ala yang menyuruhnya, tanpa ada maksud lain selain untuk Allah ta’ala yakni demi Dialah kita melakukan semua itu.
Sebenarnya berat bagiku untuk mengucapkan lillahi ta’ala itu karena nyatanya aku lebih sering membantu orang-orang karena berharap suatu saat mereka juga akan membantuku saat aku membutuhkan, bukan karena Allah menyuruhku untuk membantu. Aku lebih sering menahan amarah karena teringat bahwa seorang yang menahan amarah kelak dibebaskan Allah memilih seorang bidadari manapun yang ia suka. Walaupun lisanku berkata untuk Allah Ta’ala, hatiku tahu bahwa itu kulakukan untuk mendapatkan bidadari.
Tapi karena demikianlah Nabi mencontohkan, aku berharap kegagalanku menyesuaikan perbuatan dengan lisan ini dipandang sebagai gagalnya orang yang belajar dan dimaafkan. Hari ini kita akan coba telanjangi hati kita sendiri dan mencari makna lillahi ta’ala yang sebenarnya.
MENANTI BALASAN DUNIAWI
Memeriksa keikhlasan kita dalam mengerjakan suatu amal bukanlah hal yang mudah. Jika tidak terbiasa mengawasi hati, seseorang mudah saja tertipu dan mengira maksudnya telah murni. Katakanlah seseorang tergerak untuk memberi seorang pemuda kampung beasiswa hingga ia lulus sebagai sarjana. Sepuluh tahun kemudian, ketika sedang mengantarkan anaknya untuk menjalani suatu tes wawancara, orang itu bertemu dengan si pemuda yang saat itu kebetulan bertugas sebagai pewawancara. Ketika pemuda itu menyatakan bahwa si anak tidak lulus dan pahitnya rasa kecewa terasa dalam hati orang itu, barulah dia tahu bahwa lillahi ta’ala-nya palsu. Niatmu menolong belum lillahi ta’ala selama kamu masih menunggu ucapan terima kasih orang yang kamu tolong.
Menunggu balasan kebaikan serupa, ucapan terima kasih atau sekadar penghormatan dari orang yang kita perlakukan baik adalah tanda bahwa hati kita belum kosong dari maksud-maksud lain. Dan karena ikhlas bermakna kosongnya hati dari maksud-maksud selain Allah, jelaslah bahwa kita belum ikhlas lillahi ta’ala jika masih menunggu balasan semua kebaikan itu di dunia.
MENANTI BALASAN UKHRAWI
Jika kamu telah berhasil mengikis rasa kecewa hingga akhirnya rasa semacam itu tidak muncul sama sekali saat orang yang kamu perlakukan baik ternyata tidak membalasmu selayaknya, jika kamu sama sekali tidak ingat bahwa orang yang shalat dhuha dijanjikan Allah kelapangan rejeki saat hendak shalat dhuha, padahal kamu tahu itu, maka boleh jadi kamu telah naik tingkat.
Kamu tidak lagi mengharapkan balasan duniawi tapi balasan ukhrawi. Kamu tidak lagi memberi tempat duduk pada seorang gadis di bus hanya agar dia terpesona. Itu terlihat dari konsistensimu memberikan tempat duduk pada siapapun yang berdiri. Yang ada dalam benakmu saat melakukannya hanyalah, “semoga dengan apa yang kulakukan ini, Allah tidak membiarkan aku berdiri berdesak-desakan dan memberiku sebuah tempat duduk yang nyaman di hari kiamat nanti.”
Itu bagus sekali. Besar harapanku Allah akan menerima kebaikanmu itu dan membalasmu dengan kemudahan seperti yang kamu harapkan.
Setiap pagi Musthofa teringat bahwa Allah menjanjikan sebuah istana di surga bagi orang yang mengerjakan shalat dhuha 12 rakaat maka ia pun mengerjakannya. Sikap menanti apa yang dijanjikan Allah semacam itu disebut ihtisab dan ini sikap yang dianjurkan.
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِDari Abu Hurairah, ia berkata: “Barangsiapa berpuasa Ramadhan atas dasar iman dan ihtisab, maka diampuni (sebagian) dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760).
Tapi apakah hati dapat disebut kosong dari selain Allah jika di dalamnya terdapat harapan mendapatkan kenikmatan surga beserta segala fasilitas eksklusif ukhrawi dan terhindar dari ngerinya siksa neraka? Kukira tidak.
Jika seseorang berharap sedekah yang ia berikan tidak mendapat balasan sama sekali di dunia agar di akhirat ia dapat menebus dirinya dari api neraka dengan sedekahnya itu, maka itu sudah benar bahkan baik sekali. Tapi itu belumlah tingkatan yang dikehendaki oleh lillahi ta’ala.
Lalu bagaimana kondisi hati orang yang benar saat berkata lillahi ta’ala?
SEMATA-MATA UNTUK ALLAH
Meskipun tahu sedekah itu melancarkan rejeki dan menghalangi seseorang dari api neraka, orang yang benar bersedekah lillahi ta’ala memberikan sedekahnya tanpa berharap rejekinya dilancarkan, tanpa berharap sedekahnya itu akan menghalanginya dari api neraka. Bukan berarti semua itu tidak akan terjadi. Semua yang Allah janjikan pasti terjadi baik kamu harapkan atau tidak harapkan. Lalu apa yang benar-benar diharapkan orang itu? (Keridhoan) Allah saja.
Tingkatan ini tentunya sulit dipahami orang yang masih rakus kenikmatan akhirat dan tidak akan terbayangkan orang yang masih rakus kenikmatan dunia. Untuk dapat mencapai tingkatan itu kukira kamu haruslah terlebih dahulu zuhud (gak punya keinginan sama sekali) terhadap dunia dan juga zuhud terhadap akhirat. Ini bukan berarti kamu harus berhenti bekerja dan beramal shalih. Mohon diingat bahwa kita sedang membicarakan kondisi hati bukan amalan lahiriah.
Orang yang hatinya zuhud terhadap dunia mungkin saja muncul dalam rupa seorang manajer yang sedang diajukan untuk promosi. Orang yang hatinya zuhud terhadap akhirat bisa saja muncul dalam rupa seorang ahli ibadah yang shalat sepanjang malam dan puasa sepanjang siang. Yang membedakan mereka dari orang yang tamak terhadap dunia dan akhirat adalah apa yang mereka harapkan dari apa yang mereka kerjakan itu.
Dan menemukan orang-orang yang zuhud terhadap akhirat itu sebenarnya tidak sulit. Setiap malam jum’at tetanggaku berkumpul di rumah salah satu dari mereka. Di sana mereka membaca al-fatihah, qulhu, muawwidzatain, dan surah yasin. Semua itu sebenarnya mempunyai pahala di sisi Allah. Ada ganjaran yang berupa kemudahan dunia seperti kemudahan menjemput rejeki dan ada yang berupa kemudahan akhirat seperti kemudahan menyebrangi shirath. Tapi apa? Tapi di akhir pertemuan mereka malah berdoa, “Ya Allah, jika apa yang kami baca ini ada pahalanya di sisi-Mu, maka semua pahala itu kami hadiahkan kepada si polan bin polan, bapaknya ahlul bait.” Zuhud gak tuh?
Hebat kan? Sepuluh kali bacaan surah al-ikhlas itu bisa ditukar jadi sebuah istana di surga lho! Tapi semua itu malah mereka kasih sama almarhum bapaknya ahli bait. Padahal tanah sepetak yang gak ada rumahnya di dunia ini aja mereka rebutin lho tapi rumah di akhirat dilepas gitu aja sama mereka. Amazing!
Lalu apakah itulah contoh sebuah amalan yang betul-betul lillahi ta’ala? Belum tentu! Jika dia menyedekahkan pahala bacaan yasinnya itu untuk salah satu temannya dengan harapan besok orang-orang di kampungnya juga mau menyedekahkan pahala bacaan yasinnya untuknya setelah dia meninggal nanti, maka itu bukan lillahi ta’ala namanya. Tapi jika dengan penuh kesadaran dia melepaskan segala ganjaran yang mungkin didapatnya di dunia dan di akhirat dari bacaan surah yasin itu semata demi memudahkan jalan seorang hamba Allah menuju keselamatan abadi, maka itu pula yang menjadi kesenangan Allah. Tahukah kamu apa yang diberikan Allah pada seseorang yang melakukan suatu kebaikan semata-mata untuk-Nya?
Allah memberikan surga sebagai hadiah yang menyenangkan bagi siapa yang sanggup menahan diri dan menyedekahkan dunianya. Lalu apa yang lebih menyenangkan bagi orang-orang yang sanggup menyedekahkan surga selain Pemilik surga itu sendiri?
Dzikir dan shalat sunnah merupakan suatu kelezatan bagi orang yang senantiasa ingat akan kampung akhirat. Itu sebabnya orang-orang ini tidak langsung bangkit setelah imam mengucap salam. Tapi orang-orang yang lebih menyukai keridhoan Allah, bangkit, mengejar orang-orang yang belum merasakan nikmatnya ibadah dan mengajak mereka ngobrol tentang perkara akhirat sebelum mereka pulang. Mereka mengorban kelezatan dzikir dan ganjaran surga yang Allah janjikan demi menyelamatkan seorang hamba Allah dari kelalaian dan dirinya sendiri. Ia memilih menggembirakan Allah ketimbang menggembirakan dirinya sendiri. Meskipun orang-orang yang tidak mengerti mencemooh bangkitnya mereka sebelum imam selesai berdoa, mereka itulah orang-orang yang kukira mengikhlaskan amalnya semata-mata lillahi ta’ala.
Tentu saja Allah lebih berhak menentukan ikhlas tidaknya seseorang dalam amal-amalnya.
MENGAPA KEIKHLASAN INI MENJADI PENTING?
Jika kamu datang menghadap dan mempersembahkan kepada Sang Raja suatu prakarya yang kamu bikin khusus untuk-Nya, besar harapan kita Sang Raja akan tersanjung dan mungkin menghargai prakarya yang kamu persembahkan itu lebih dari apa yang kamu habiskan untuk membuatnya. Tapi jika kamu berkata kepada seorang raja yang agung, “wahai raja, ini adalah sebuah kue yang kubuat sendiri dan kupotong jadi sepuluh bagian. Terimalah dariku sembilan bagiannya,” apakah kamu berharap raja akan tersanjung? Dia pasti akan bertanya untuk siapa satu bagian lagi itu kamu persembahkan dan menganggap kamu tidak sepenuh hati mengakui keagungannya.
Begitulah jika kamu tidak memurnikan persembahanmu kepada seseorang yang tidak suka diduakan. Lalu bagaimana kamu berharap persembahanmu diterima oleh Dzat yang paling gak suka diantara yang gak suka diduakan (sementara kamu belum memurnikan persembahan itu hanya untuk-Nya)?
Tentu tidak mustahil Allah menunjukkan kemurahan-Nya dengan menerima amal-amal yang sebenarnya amat tidak layak. Allah mungkin saja memberi balasan akhirat terhadap amal yang sebenarnya dikerjakan untuk tujuan dunia dengan rahmat-Nya. Allah juga mungkin saja menunjukkan wajah-Nya sebagai balasan atas amal yang dikerjakan untuk mendapatkan surga dengan rahmat-Nya. Tapi mengharapkan kemurahan Allah tanpa lebih dahulu berusaha memurnikan ketaatan kita hanya kepada-Nya lebih layak disebut angan-angan ketimbang harapan.
***
Pada akhirnya, ikhlas adalah urusan hati. Itu berarti kamu tidak dapat menilai ikhlas tidaknya seseorang selain dirimu sendiri. Bisa saja, seseorang yang diberi komisi untuk setiap donasi yang berhasil ia kumpulkan, niatnya tulus semata-mata lillahi ta’ala. Dan bisa saja, seseorang yang shalat sendirian di kamar kosnya tengah malam ternyata hanya sedang berusaha menakut-nakuti setan yang suka kumur-kumur di dapur.
Ikhlas adalah sesuatu yang hanya kamu dan Allah yang mengetahuinya. Malaikat pun bisa tertipu dan terluput. Maka beruntunglah orang-orang yang baik sangka mengenai hati orang lain dan hati-hati terhadap hatinya sendiri.