Saat aku pulang, anak-anakku suka bertanya, “ayah bawa apa?” Menyenangkan anak-anak dengan buah tangan sebenarnya “wajib” bagi seorang yang ...

Namanya juga Anak-Anak

Makan bersama ayah dan anak penuh kasih sayang

Saat aku pulang, anak-anakku suka bertanya, “ayah bawa apa?” Menyenangkan anak-anak dengan buah tangan sebenarnya “wajib” bagi seorang yang lisannya tajam sepertiku. Maka kadang aku singgah beli martabak di perjalanan pulang.


Suatu ketika dengan martabak di tangan, aku mengucap salam dan membuka gerbang. Anak-anakku seperti biasa langsung menghambur ke luar dan bertanya, “ayah bawa apa?” Melihat tanganku menggenggam bungkusan plastik yang mereka langsung bergembira, berlomba merebut bungkusan itu dari tanganku dan membawanya ke dalam untuk disantap. Sedangkan aku sendiri ditinggalkan di luar.

Aku tidak berharap mereka menungguku selesai menutup dan mengunci gerbang tapi saat itu aku jadi menyadari ternyata lebih menyenangkan jika tidak ditinggalkan sendiri. “Ternyata begini rasanya.”

Saat itu, aku pun berpaling ke arah langit dan bertanya, “beginikah cara kami memperlakukan-Mu selama ini, ya Allah?”

“Kami memohon kepada-Mu ini dan itu setiap hari. Ketika Kau mengabulkankan permohonan kami dan memberi kami nikmat-nikmat, kami malah sibuk dengan nikmat-nikmat tanpa sedikitpun mengingat-Mu.”

Aku tidak berbicara langsung dengan Dia seperti Nabi Musa tapi kukira Dia menjawab, “Perlakuan kalian bahkan lebih parah lagi tapi apakah kamu marah pada anak-anakmu hanya karena ditinggalkan seperti itu?”

“Tidak sih! Aku senang mereka bersenang-senang dengan martabak yang kubawa. Namanya juga anak-anak.”

“Begitu pula Aku! Namanya juga anak-anak.”

Lalu perasaan damai menyelimutiku seolah ke atasku ditumpahkan kasih sayang yang amat banyak. Terlalu banyak sehingga aku pun ingin melimpahkannya dan mengulang-ulang, “namanya juga anak-anak.”