Jika Allah menghendaki kita menjadi ahli ibadah, tentulah Dia akan lebih banyak menceritakan kehebatan ahli ibadah zaman dahulu ketimbang ahli dakwahnya. Tapi di dalam Al-Qur’an, Allah lebih banyak bercerita tentang kisah dakwah para Nabi. Kisah-kisah itu diceritakan agar kita meneladani jalan hidup mereka dan mengambil pelajaran. Dan yang dapat mengambil manfaat penuh dari kisah dakwah para Nabi tentu saja seorang pendakwah. Pemahaman seorang ahli ibadah (yang tidak ikut berdakwah) atas kisah para Nabi tidak akan setingkat dengan pemahaman mereka yang menghabiskan umurnya mengajak manusia kembali kepada Allah.
Menceritakan kisah perjuangan para Nabi sebelumnya kepada pendakwah yang sedang berjuang di muka bumi merupakan cara Allah mendidik para pendakwah di setiap zaman. Kepada Nabi Hud, Allah menceritakan perjuangan Nabi Nuh mengajak manusia siang dan malam. Kepada Nabi Ibrahim, Allah menceritakan bagaimana kaum Nabi Hud, Nabi Saleh dan Nabi Luth diadzab. Kepada Nabi Musa, Allah menceritakan kisah Nabi Ibrahim melawan Namrud. Kepada Nabi Isa, Allah ceritakan bagaimana Nabi Daud dan Nabi Sulaiman memimpin kerajaan mereka. Dan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, Allah perintahkan:
أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ هَدَى ٱللَّهُ ۖ فَبِهُدَىٰهُمُ ٱقْتَدِهْ ۗ قُل لَّآ أَسْـَٔلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا ۖ إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرَىٰ لِلْعَٰلَمِينَ“Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka IKUTILAH PETUNJUK MEREKA. Katakanlah: ‘Aku tidak meminta upah kepadamu atas (ajakan itu)’. Al-Quran itu tidak lain hanyalah peringatan untuk seluruh alam.” (QS. Al-An’am: 90)
Lewat ayat itu, Nabi Muhammad saw diperintahkan untuk mengambil pelajaran dari dakwah setiap Nabi sebelumnya. Tahukah kamu bagaimana Nabi kita belajar dari pengalaman para Nabi sebelumnya?
Nabi kita adalah Nabi yang beban tanggung jawabnya paling besar. Jika para Nabi sebelumnya diutus untuk suatu kaum tertentu, Nabi kita diutus untuk umat manusia di seluruh dunia. Jika sepeninggal Nabinya, kaum para Nabi sebelumnya melenceng dari ajaran agama, akan diutus Nabi berikutnya untuk mengajak kaum itu kembali kepada agama. Tapi karena Nabi kita adalah penutup kenabian, tidak ada Nabi yang akan diutus setelahnya hingga hari kiamat. Semua itu mungkin biasa-biasa saja bagi yang tidak peduli tapi bagi Nabi yang amat belas kasih, yang amat tidak ingin seorang pun harus tersiksa akibat keburukannya sendiri, itu adalah beban yang tak terbayangkan dahsyatnya.
Berkaca dari pengalaman Nabi Isa yang malah dianggap Tuhan oleh pengikutnya setelah 300 tahun, Nabi kita harus merumuskan suatu strategi dakwah yang akan melanggengkan umatnya dalam ajaran agama selama mungkin sebelum kiamat digelar. Itu sebabnya Nabi kita tidak mentah-mentah mengikuti cara dakwah para Nabi yang diceritakan Allah dalam Al-Qur’an.
BUKAN UNTUK DITIRU MENTAH-MENTAH
Dari kisah Nabi Nuh, Hud dan Saleh, Nabi Ibrahim belajar bahwa Allah tidak segan-segan untuk menunjukkan kuasa-Nya ketika kekasih-Nya mengadukan tingkah laku dan penentangan hamba-hamba-Nya. Meskipun didustakan dan dilemparkan ke dalam api, Nabi Ibrahim yang amat penyayang tidak ingin orang-orang di negerinya diratakan Allah dengan tanah. Itu sebabnya meskipun telah berada di atas ketapel, tidak sedikit pun Nabi Ibrahim mengeluhkan perilaku kaumnya kepada Allah. Tawaran bantuan dari malaikat pun tidak sedikit pun menggeser posisinya dari kepasrahan total kepada Allah.
Baca kisah Nabi Ibrahim di atas ketapel dalam tulisan Hasbalah Bukan Lagi Hiasan Lisan
Itulah sebabnya, kisah Nabi Ibrahim tidak berakhir dengan adzab sebagaimana kisah Nabi-Nabi sebelumnya. Mereka hanya saling berlepas diri dengan diusirnya Nabi Ibrahim dari negerinya.
Jadi, kisah para Nabi itu bukan diceritakan untuk ditiru mentah-mentah. Jika untuk itu, mengapa Nabi kita tidak memenggal seluruh berhala di ka’bah segera setelah Allah menceritakan kisah Nabi Ibrahim dalam Al-Qur’an? Bukankah kondisi ka’bah yang disesaki ratusan berhala saat itu tidak jauh berbeda dengan kondisi yang dihadapi Nabi Ibrahim di negerinya?
Itu bukan karena Nabi mengkhawatirkan keselamatannya tapi karena Nabi tahu betul akhir kisah itu. Meskipun akhirnya Nabi Ibrahim diselamatkan Allah, tapi hancurnya berhala itu dan hujjah logis plus ngena Nabi Ibrahim tidak menjadikan orang-orang di negeri itu menyatakan keimanan mereka.
Jika Nabi kita menginginkan keimanan dan keselamatan bagi umatnya, beliau harus menggunakan strategi lain. Dan dengan strategi itu, akhirnya mereka sendirilah yang menghancurkan berhala-berhala itu hampir dua puluh tahun kemudian.
BELAJAR DARI PENGALAMAN PARA NABI
Dari kisah Nabi Musa, Nabi kita belajar bahwa iman yang lahir dari mukjizat yang menyilaukan mata tidak bertahan lama. Dengan izin Allah, tongkat Nabi Musa telah berubah jadi ular dan menelan ular-ularan ahli sihir istana tapi Fir’aun tidak lantas beriman setelahnya. Dengan izin Allah, Nabi Musa telah membelah laut di depan mata Bani Israil tapi mereka masih khawatir dibiarkan Allah mati sia-sia di tengah gurun setelahnya. Karenanya, Nabi kita tidak buru-buru meladeni permintaan mukjizat dari orang-orang kafir.
Nabi Sulaiman minta kepada Allah agar diberikan kerajaan yang tidak akan terkalahkan besarnya. Mendengar kisah itu tidak lantas menjadikan Nabi kita ikut berdoa diberi kerajaan dan kekayaan untuk mendukung dakwahnya. Itu terbukti saat beliau malah menolak tawaran berubahnya gunung Uhud menjadi emas. Kenapa? Karena dari akhir kisah itu diketahui: ketundukkan pada agama yang didapat dari kekuasaan dan kekayaan akan sirna ketika sang Nabi diketahui wafat. Nabi kita tidak ingin umatnya lari dari agama ketika ia berpulang. Itu sebabnya ia memilih sehari lapar dan sehari kenyang sebagai sunnahnya.
Nabi Isa adalah Nabi yang paling jauh dari keduniaan. Pakaiannya hanya satu setel yang melekat di badan, atap tempatnya berteduh hanya sebuah papan dibawa kemana-mana. Tapi Nabi kita memiliki rumah dan hidup menetap di tengah masyarakat. Mengapa? Karena dari kisah Nabi Isa, Nabi kita tahu bahwa menghabiskan seluruh usia untuk menjalani kehidupan rahib macam itu malah membuat sang Nabi dijadikan sesembahan selain Allah. Itu sebabnya Nabi memiliki waktu untuk perjuangan agama dan waktu untuk membina hubungan dengan keluarga dan masyarakat.
STRATEGI PAMUNGKAS SANG NABI
Meniru mentah-mentah strategi dakwah Nabi-Nabi sebelumnya tidaklah sesuai untuk kondisi sosial umat yang dihadapi Nabi kita. Karena itu Nabi harus memikirkan sebuah cara lain, yang lebih hebat, untuk memastikan umatnya selamat. Maka coba pikir, dari kisah Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Luth, Nabi Musa, Nabi Sulaiman, Nabi Zakariya, Nabi Yahya, Nabi Isa, siapa yang selamat? Dari semua kisah itu, dapat disimpulkan yang selalu selamat bukanlah umat yang saleh (karena umat yang saleh pun kadang terkena adzab dunia walau selamat di akhirat). Yang selalu selamat adalah Nabinya. Orang-orang yang menyampaikan agama itulah yang mendapat jaminan selamat dunia akhirat oleh Allah swt.
Dan itulah sebabnya dalam masanya yang amat singkat, Nabi berusaha menjadikan umatnya orang-orang mengemban kerja kenabian. Itulah sebabnya agama dikatakan telah sempurna ketika Nabi mewisuda seluruh 124.000 sahabatnya di haji wada’ agar menyampaikan agama dengan berkata, “Hendaklah yang hari ini hadir menyampaikan kepada yang belum hadir.”
Sebab hanya dengan menjadi penyampai agama inilah seseorang dijamin selamat dunia dan akhirat.
وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ ٱلْقُرَىٰ بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا مُصْلِحُونَ‘Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang mushlih.” (QS. Hud: 117)
Catatan: Jika shalih adalah orang baik, mushlih adalah orang (berusaha) menjadikan orang lain pun ikut baik.
Sekarang, siapkah kamu untuk mengambil manfaat penuh dari petunjuk yang diturunkan kepadamu?