Aku baru membaca berita tentang cara kreatif anak muda melestarikan budaya lokal yang mulai ditinggalkan generasinya. Cara mereka menggunakan teknologi menurutku sangat keren dan kepedulian mereka terhadap budaya lokal saat generasi mereka hanyut dalam budaya apapun yang ditawarkan arus media bahkan lebih keren lagi. Tapi aku tetap bertanya, kenapa kita merayakan suatu budaya yang berhasil dilestarikan?
Kita akan ambil sebuah contoh, katakanlah: batik. Jika tidak ribuan tahun, ratusan tahun lamanya orang-orang di Indonesia menggunakan batik sebagai pakaian sehari-hari. Kemudian kemeja polos, dasi dan jas datang mencoba menggantikan posisi batik itu. Mengapa kita memandang meninggalkan batik sebagai sesuatu yang buruk?
Apakah itu karena batik adalah sesuatu yang telah menjadi identitas bagi kita? Sesuatu yang menjadi identitas tentu haruslah merupakan sesuatu yang membedakan kita dari orang lain. Jika batik adalah sesuatu yang unik yang membedakan Indonesia dari seluruh dunia, maka tentulah kita akan mempertahankannya sebagai identitas pembeda. Itu berarti beralih dari batik kepada kemeja polos, dasi dan jas dianggap buruk karena ia menjadikan kita serupa dengan bangsa lain dan ia membuktikan tiadanya identitas kita sebagai sebuah bangsa.
Dari sudut pandang itu, meninggalkan batik lalu beralih kepada kemeja polos, dasi dan jas tidaklah buruk jika di dunia ini kemeja polos, dasi dan jas tidak menyerupai bangsa manapun. Dengan beralih dari batik kepada kemeja polos, dasi dan jas, kita tetap punya identitas yang membedakan kita dari bangsa lain. Kita hanya mengubah cara kita mengidentifikasi diri saja.
Apakah itu karena meninggalkan adat orang tua adalah sikap kurang ajar terhadap orang tua? Jika memang demikian, bukankah dulu orang tua kita juga telah kurang ajar ketika mereka beralih dari cara kakek moyang kita berpakaian kepada batik ini? Kukira setiap kita mengerti bahwa tidak setiap langkah orang tua kita harus kita tiru. Banyak penelitian terbaru menunjukkan bahwa apa yang diyakini orang tua kita bertentangan dengan apa yang ditunjukkan oleh sains. Bukankah mempertahankan budaya jam karet adalah kebodohan jika penelitian telah menunjukkan bahwa budaya itu adalah lawan dari produktivitas?
Itu berarti budaya tidak serta merta harus dipertahankan tapi hendaknya dipilih dulu berdasarkan cara kita menilai baik dan buruk. Yang terbukti baik kita pertahankan, yang terbukti buruk kita carikan penggantinya. Lalu sistem penilaian macam apa yang kita gunakan dalam menilai baik buruknya suatu budaya?
Selama ini yang digunakan sebagai ukuran baik buruknya suatu budaya tentu saja adalah duit. Jika melestarikan budaya batik mendatangkan duit, kita pertahankan. Jika melestarikan budaya jam karet menahan datangnya duit, kita berusaha untuk menggantinya walau tidak mudah. Jika budaya lompat batu dapat menjadi pertunjukkan yang mendatangkan turis (yang bawa duit), kita pertahankan. Jika budaya transparansi birokrasi menghambat datangnya duit, kita hambat perubahan ke arah sana, haha.
NARASI PARA PENENTANG NABI
Ajakan untuk melestarikan budaya nenek moyang ini adalah salah satu narasi yang senantiasa dibangun penentang para Nabi dari masa ke masa. Dengan narasi itu, mereka mengesankan masyarakat bahwa mengikuti Nabi berarti bersikap tidak hormat kepada orang tua padahal sebenarnya mereka sendirilah yang diuntungkan ketika cara hidup masyarakat itu tidak jadi berubah.
Walaupun Nabi terakhir telah wafat, tapi pesan-pesannya terus disiarkan oleh penerus kerjanya. Dan orang-orang yang suka memperbudak manusia tentu akan menghalangi manusia menyadari kemerdekaan mereka. Karena itu, narasi-narasi pelestarian budaya tidak pernah sepi dari ditunggangi kepentingan-kepentingan semacam itu.
Tidak setiap pesan pelestarian budaya sekotor itu tapi kamu pasti telah mengerti. Adat dan budaya tidak sesakral itu, setidaknya sependek pengamatan saya. Selama ini kita hanya mempertahankan budaya yang diwariskan orang tua kita hanya karena kecintaan kita harta dan hal-hal remeh lainnya. Karena itu, orang yang telah memiliki suatu sistem nilai lain yang lebih tinggi dari sekadar duit harus lebih sering mengingatkan sesama agar lebih hati-hati terhadap ajakan melestarikan budaya tertentu. Agar jangan sampai nasionalisme kita yang suci dimanfaatkan oleh orang-orang yang hanya sekadar ingin mempertahankan posisi.